Analisis Hukum Komprehensif Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penipuan Modus Investasi Cryptocurrency di Indonesia
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai inovasi di sektor keuangan, salah satunya adalah cryptocurrency atau aset kripto. Dengan janji keuntungan yang menggiurkan dan narasi "kebebasan finansial," aset kripto menarik minat banyak investor, baik yang berpengalaman maupun pemula. Namun, di balik potensi inovatifnya, lanskap investasi kripto juga menjadi lahan subur bagi tindak pidana penipuan. Modus penipuan investasi cryptocurrency semakin canggih, memanfaatkan minimnya literasi digital dan hukum masyarakat, serta karakteristik aset kripto yang terdesentralisasi dan seringkali anonim. Artikel ini akan menganalisis kerangka hukum di Indonesia yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan modus investasi cryptocurrency, mengidentifikasi tantangan dalam penegakannya, serta menguraikan mekanisme pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan.
I. Fenomena Penipuan Modus Investasi Cryptocurrency
Penipuan investasi cryptocurrency mengambil berbagai bentuk, seringkali dirancang untuk menyerupai proyek investasi yang sah. Beberapa modus umum meliputi:
- Skema Ponzi dan Piramida: Pelaku menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi dalam waktu singkat, yang sebenarnya dibayarkan dari modal investor baru, bukan dari keuntungan investasi riil. Proyek seringkali menggunakan istilah-istilah teknis yang rumit untuk menciptakan kesan legitimasi.
- Proyek Kripto Palsu (Rug Pulls): Pengembang meluncurkan koin atau token baru, menarik banyak investor, kemudian tiba-tiba menghilang dengan dana yang terkumpul, meninggalkan proyek dan investor tanpa nilai apa pun.
- Phishing dan Scam Link: Pelaku membuat situs web atau aplikasi palsu yang meniru platform exchange kripto terkemuka untuk mencuri kredensial pengguna dan aset kripto mereka.
- Manipulasi Pasar (Pump-and-Dump): Sekelompok pelaku secara artifisial menaikkan harga suatu aset kripto dengan menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan, kemudian menjual aset mereka saat harga mencapai puncak, meninggalkan investor lain dengan aset yang nilainya anjlok.
- Penipuan Identitas dan Social Engineering: Memanfaatkan kepercayaan korban melalui media sosial atau platform komunikasi lainnya, seringkali dengan menyamar sebagai tokoh berpengaruh atau ahli kripto.
Karakteristik utama dari penipuan ini adalah janji keuntungan yang tidak realistis, tekanan untuk segera berinvestasi, kurangnya transparansi mengenai tim pengembang atau mekanisme investasi, serta penggunaan narasi yang mengesankan tetapi minim substansi. Korban seringkali tergiur oleh testimoni palsu dan persepsi bahwa mereka akan "ketinggalan" jika tidak segera bergabung.
II. Landasan Hukum Pertanggungjawaban Pidana di Indonesia
Untuk menjerat pelaku penipuan modus investasi cryptocurrency, penegak hukum di Indonesia dapat merujuk pada beberapa undang-undang utama:
A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
-
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan: Ini adalah pasal fundamental yang sering digunakan. Unsur-unsur pidana penipuan meliputi:
- Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum: Pelaku memiliki niat untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah.
- Membujuk orang lain: Ada tindakan aktif dari pelaku untuk memengaruhi korban.
- Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan: Ini adalah inti dari modus penipuan. Dalam konteks investasi kripto, "tipu muslihat" atau "rangkaian kebohongan" dapat berupa janji keuntungan fiktif, klaim tentang proyek yang tidak ada, penggunaan identitas palsu, atau pemalsuan data.
- Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang: Dalam kasus kripto, "barang sesuatu" adalah aset kripto itu sendiri atau uang fiat yang digunakan untuk membeli aset kripto yang dijanjikan.
Penerapan Pasal 378 KUHP sangat relevan karena setiap modus penipuan investasi kripto pada dasarnya melibatkan upaya pelaku untuk membujuk korban melalui kebohongan atau tipu muslihat agar menyerahkan asetnya.
-
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan: Jika korban telah menyerahkan aset kripto atau dana kepada pelaku dengan tujuan investasi yang sah (misalnya, melalui platform yang dikelola pelaku), namun kemudian aset tersebut tidak dikembalikan atau digunakan tidak sesuai tujuan, pelaku dapat dijerat dengan pasal penggelapan. Unsur-unsurnya adalah:
- Dengan sengaja dan melawan hukum: Pelaku memiliki niat jahat.
- Memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain: Aset kripto atau dana tersebut bukan milik pelaku sepenuhnya.
- Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan: Aset tersebut diperoleh secara sah pada awalnya (misalnya, dipercayakan untuk diinvestasikan).
B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2024
UU ITE sangat krusial mengingat sifat digital dari penipuan ini.
-
Pasal 28 ayat (1) UU ITE: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
- Unsur "berita bohong dan menyesatkan" sangat cocok untuk janji investasi fiktif atau klaim palsu tentang proyek kripto.
- Unsur "mengakibatkan kerugian konsumen" secara langsung mencakup kerugian finansial yang dialami korban.
- "Transaksi Elektronik" jelas mencakup aktivitas investasi cryptocurrency yang dilakukan secara daring.
Pasal ini memiliki ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
-
Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) UU ITE: Terkait dengan pemalsuan data elektronik. Jika pelaku memalsukan identitas, dokumen digital, atau data transaksi untuk meyakinkan korban, pasal ini dapat diterapkan.
C. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
Tindak pidana pencucian uang hampir selalu menyertai penipuan berskala besar.
- Pasal 3 UU TPPU: Mengatur mengenai perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
- Pasal 4 UU TPPU: Mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Keuntungan dari penipuan cryptocurrency seringkali dicuci melalui berbagai transaksi untuk menyamarkan jejak. UU TPPU memungkinkan penegak hukum untuk melacak aset, membekukan, dan menyita hasil kejahatan, serta menjerat pelaku dengan pidana tambahan yang lebih berat. Penipuan adalah salah satu "tindak pidana asal" (predicate offense) yang dapat dijerat dengan TPPU.
D. Regulasi Sektor Khusus (Bappebti)
Di Indonesia, aset kripto diatur sebagai komoditas, bukan sebagai alat pembayaran atau efek. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan adalah lembaga yang berwenang mengawasi perdagangan aset kripto.
- Peraturan Bappebti: Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 (dan perubahannya) mengatur tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka. Investasi aset kripto hanya boleh dilakukan melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang telah terdaftar dan memiliki izin dari Bappebti.
- Implikasi Hukum: Jika pelaku menawarkan investasi cryptocurrency tanpa izin atau melalui entitas yang tidak terdaftar di Bappebti, tindakan tersebut sudah melanggar peraturan perundang-undangan di sektor perdagangan berjangka komoditi. Meskipun pelanggaran ini awalnya bersifat administratif, hal ini dapat menjadi indikasi awal adanya niat jahat atau penipuan, dan dapat digunakan sebagai bukti pendukung dalam dakwaan pidana.
III. Tantangan dalam Penegakan Hukum
Meskipun kerangka hukum telah tersedia, penegakan hukum terhadap pelaku penipuan investasi cryptocurrency menghadapi sejumlah tantangan signifikan:
- Sifat Aset Kripto yang Pseudonim dan Borderless: Transaksi kripto seringkali menggunakan alamat dompet digital yang pseudonim, mempersulit identifikasi pemilik sebenarnya. Selain itu, sifat global dan terdesentralisasi aset kripto membuat penegakan hukum lintas yurisdiksi menjadi kompleks. Pelaku dapat beroperasi dari negara yang berbeda, menyulitkan proses investigasi dan ekstradisi.
- Pembuktian Tindak Pidana: Mengumpulkan bukti digital yang kuat dan sah secara hukum adalah tantangan. Analisis blockchain memerlukan keahlian khusus, dan seringkali pelaku menggunakan teknik mixer atau tumbler untuk menyamarkan jejak transaksi. Pembuktian unsur "niat jahat" atau "tipu muslihat" juga memerlukan analisis komunikasi digital, rekam jejak keuangan, dan kesaksian korban.
- Yurisdiksi dan Kerjasama Internasional: Ketika pelaku dan/atau server berada di luar negeri, penegak hukum Indonesia harus bekerja sama dengan otoritas negara lain. Proses ini seringkali memakan waktu dan melibatkan berbagai perjanjian bantuan hukum timbal balik (MLA) yang rumit.
- Literasi Digital dan Hukum Masyarakat: Banyak korban penipuan investasi kripto kurang memahami teknologi blockchain, risiko investasi, dan regulasi yang berlaku. Minimnya literasi ini sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk melancarkan aksinya.
- Perkembangan Teknologi yang Cepat: Modus penipuan terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi kripto. Penegak hukum harus terus memperbarui pengetahuan dan kapasitas mereka untuk menghadapi modus-modus baru.
IV. Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penipuan modus investasi cryptocurrency dapat meliputi:
- Pertanggungjawaban Individu: Pelaku perseorangan yang secara langsung melakukan tindakan penipuan akan dijerat dengan pasal-pasal pidana yang relevan (KUHP, UU ITE, UU TPPU). Ancaman pidana berupa penjara dan denda sesuai ketentuan undang-undang.
- Pertanggungjawaban Korporasi: Jika penipuan dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi (misalnya, perusahaan investasi fiktif), korporasi tersebut juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan UU TPPU dan UU ITE. Pertanggungjawaban korporasi dapat berupa denda, pencabutan izin usaha, pembekuan kegiatan, hingga perampasan aset.
- Restitusi dan Perampasan Aset: Selain hukuman pidana, korban berhak menuntut restitusi (ganti rugi) atas kerugian yang dideritanya. Melalui UU TPPU, aparat penegak hukum juga dapat melakukan perampasan aset (asset forfeiture) terhadap seluruh harta kekayaan yang terbukti merupakan hasil dari tindak pidana penipuan, untuk kemudian dikembalikan kepada negara atau, dalam kasus tertentu, kepada korban.
V. Rekomendasi dan Penutup
Untuk mengatasi masalah penipuan investasi cryptocurrency yang terus meningkat, diperlukan pendekatan multi-pihak yang komprehensif:
- Peningkatan Literasi Digital dan Keuangan: Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas perlu gencar melakukan edukasi publik mengenai risiko investasi kripto, cara mengidentifikasi penipuan, dan pentingnya berinvestasi pada platform yang legal dan terdaftar.
- Penguatan Kapasitas Penegak Hukum: Peningkatan pelatihan bagi aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, PPATK) dalam bidang forensik digital, analisis blockchain, dan hukum aset kripto sangat krusial.
- Harmonisasi dan Pengembangan Regulasi: Pemerintah perlu terus meninjau dan mengembangkan regulasi yang lebih adaptif terhadap dinamika teknologi blockchain dan aset kripto, termasuk kemungkinan regulasi yang lebih spesifik mengenai perlindungan investor.
- Kerja Sama Antarlembaga dan Internasional: Kolaborasi erat antara Bappebti, OJK, Kominfo, Polri, Kejaksaan, dan PPATK di tingkat nasional, serta kerja sama dengan lembaga penegak hukum di negara lain, mutlak diperlukan untuk memberantas jaringan penipuan lintas batas.
- Transparansi dan Akuntabilitas Platform Kripto: Platform perdagangan aset kripto yang sah harus didorong untuk meningkatkan standar keamanan, transparansi, dan mekanisme pelaporan aktivitas mencurigakan kepada otoritas.
Kesimpulan
Penipuan modus investasi cryptocurrency merupakan ancaman serius bagi masyarakat dan integritas pasar keuangan digital. Meskipun tantangan dalam penegakannya kompleks, kerangka hukum di Indonesia, yang meliputi KUHP, UU ITE, dan UU TPPU, menyediakan dasar yang kuat untuk menjerat pelaku. Dengan peningkatan literasi, penguatan kapasitas penegak hukum, harmonisasi regulasi, dan kerja sama lintas batas, diharapkan kejahatan ini dapat diminimalisir, dan kepercayaan publik terhadap inovasi blockchain dapat dipulihkan. Upaya kolektif dari semua pihak adalah kunci untuk menciptakan lingkungan investasi kripto yang aman dan bertanggung jawab.