Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan?
Kekerasan terhadap perempuan adalah borok sosial yang telah lama menggerogoti tatanan masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan semakin gencarnya kampanye kesetaraan gender, angka kekerasan ini justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Laporan tahunan berbagai lembaga, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), secara konsisten menyoroti fakta bahwa rumah, tempat yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, seringkali justru menjadi arena paling berbahaya bagi perempuan. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul dan terus menggema adalah: jika kekerasan terus meningkat, di mana sebenarnya perlindungan bagi para perempuan korban?
Peningkatan Angka Kekerasan: Sebuah Realita yang Mengkhawatirkan
Data dari berbagai sumber menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan, melalui Catatan Tahunan (Catahu) mereka, selalu merilis ribuan kasus yang dilaporkan setiap tahunnya, mencakup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan di ranah publik, hingga kekerasan siber. Peningkatan ini tidak hanya terbatas pada jenis kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan psikis, seksual, ekonomi, dan yang terbaru, kekerasan berbasis siber atau online (KBGO) yang semakin merajalela.
Salah satu faktor pendorong peningkatan yang tak bisa diabaikan adalah pandemi COVID-19. Kebijakan pembatasan sosial dan karantina wilayah, yang bertujuan memutus rantai penyebaran virus, justru menciptakan ‘penjara’ bagi banyak perempuan korban. Terkurung bersama pelaku, tanpa akses ke dunia luar atau dukungan yang memadai, membuat mereka semakin rentan. Stres ekonomi, kecemasan, dan isolasi juga memperparah situasi, memicu ledakan emosi yang berujung pada kekerasan. Data menunjukkan lonjakan signifikan laporan KDRT selama periode pandemi, sebuah indikasi nyata bahwa "rumah aman" berubah menjadi "rumah teror" bagi sebagian perempuan.
Selain KDRT, kekerasan seksual juga menjadi momok yang tak kunjung usai. Kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi seksual terus bermunculan, seringkali dilakukan oleh orang terdekat atau orang yang memiliki relasi kuasa. Parahnya, kemajuan teknologi informasi yang seharusnya membawa kemudahan, justru disalahgunakan untuk melancarkan bentuk kekerasan baru, yaitu KBGO. Mulai dari pelecehan verbal melalui media sosial, penyebaran foto atau video tanpa konsen (revenge porn), doxing, hingga ancaman siber, semuanya menambah daftar panjang penderitaan perempuan di era digital. KBGO seringkali lebih sulit dideteksi dan dihapus jejaknya, meninggalkan luka psikologis yang mendalam dan berjangka panjang bagi korban.
Peningkatan angka ini bukan sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada kisah nyata perempuan yang hidup dalam ketakutan, kehilangan harga diri, dan berjuang untuk bertahan hidup. Ini adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita dalam menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi semua.
Akar Permasalahan: Mengapa Kekerasan Terus Berulang?
Peningkatan kekerasan terhadap perempuan bukanlah fenomena tunggal yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari jalinan kompleks akar permasalahan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.
Pertama dan paling fundamental adalah budaya patriarki. Sistem nilai ini menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat, sehingga secara tidak langsung melegitimasi kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam kerangka patriarki, kekerasan seringkali dianggap sebagai bentuk kontrol atau disiplin yang "sah", bahkan ada anggapan bahwa perempuan "memancing" atau "pantas" menerima kekerasan. Narasi ini diperkuat oleh interpretasi agama atau adat yang bias gender, menciptakan lingkungan di mana kekerasan terhadap perempuan dinormalisasi dan dianggap sebagai urusan pribadi, bukan masalah sosial yang memerlukan intervensi.
Kedua, stigma dan victim-blaming. Masyarakat masih cenderung menyalahkan korban kekerasan, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Pertanyaan-pertanyaan seperti "mengapa keluar malam?", "pakaiannya terlalu terbuka?", atau "mengapa tidak melawan?" justru menempatkan beban kesalahan pada korban, bukan pada pelaku. Stigma ini membuat korban enggan melaporkan kasusnya karena takut dihakimi, dipermalukan, atau bahkan dikucilkan. Rasa malu dan takut akan reaksi sosial seringkali lebih besar daripada keinginan untuk mencari keadilan, sehingga banyak kasus kekerasan yang berakhir tanpa laporan dan tanpa penanganan.
Ketiga, impunitas bagi pelaku. Sistem peradilan yang lamban, kurang sensitif gender, atau bahkan cenderung berpihak pada pelaku, seringkali membuat pelaku kekerasan lolos dari hukuman yang setimpal. Kurangnya bukti, kesulitan dalam proses pembuktian, atau negosiasi di luar jalur hukum yang merugikan korban, menjadi faktor-faktor yang memperkuat impunitas. Ketika pelaku tidak dihukum secara adil, pesan yang tersampaikan kepada masyarakat adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan yang tidak serius, sehingga memicu pelaku lain untuk melakukan hal serupa.
Keempat, minimnya edukasi dan kesadaran. Banyak anggota masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, belum sepenuhnya memahami kompleksitas kekerasan terhadap perempuan. Ada kesalahpahaman tentang definisi kekerasan, hak-hak korban, dan prosedur penanganan yang tepat. Edukasi tentang kesetaraan gender, pentingnya konsen dalam setiap interaksi, dan bahaya patriarki masih belum merata dan belum menjadi kurikulum wajib sejak usia dini.
Kelima, ketergantungan ekonomi dan sosial. Banyak perempuan korban kekerasan, terutama dalam KDRT, sangat bergantung pada pelaku secara ekonomi. Ancaman pemutusan dukungan finansial atau pengusiran dari rumah membuat mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sulit diputus. Selain itu, tekanan sosial dari keluarga besar atau komunitas untuk "mempertahankan rumah tangga" juga seringkali memaksa korban untuk tetap bertahan dalam hubungan yang abusif.
Tantangan dalam Mencari Perlindungan: Jalan Berliku Korban
Meskipun telah ada berbagai upaya dan lembaga yang didedikasikan untuk perlindungan perempuan, jalan yang harus ditempuh korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan masih sangat terjal.
Salah satu tantangan terbesar adalah proses pelaporan yang berbelit dan kurang sensitif gender. Korban seringkali harus mengulang cerita traumatis mereka berkali-kali kepada berbagai pihak, mulai dari polisi, psikolog, hingga pekerja sosial. Proses ini bisa sangat retraumatik dan melelahkan. Petugas yang kurang terlatih dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender seringkali menunjukkan sikap yang tidak empati, meremehkan, atau bahkan menyalahkan korban, membuat korban merasa tidak didengar dan tidak dipercaya.
Respon aparat penegak hukum juga menjadi sorotan. Meskipun ada peningkatan kesadaran, masih banyak oknum yang belum memiliki perspektif korban atau memahami trauma yang dialami korban. Bukti yang dianggap lemah, kurangnya saksi, atau tekanan dari pihak pelaku seringkali membuat kasus tidak ditindaklanjuti secara serius. Ada pula kasus mediasi yang justru merugikan korban, memaksa mereka untuk berdamai dengan pelaku tanpa memastikan keamanan dan keadilan.
Ketersediaan layanan pendukung seperti rumah aman (shelter), layanan konseling psikologis, dan bantuan hukum juga masih belum merata dan seringkali kurang memadai. Di daerah-daerah terpencil, akses terhadap layanan ini sangat terbatas, memaksa korban untuk menempuh jarak jauh atau bahkan tidak mendapatkan bantuan sama sekali. Fasilitas yang ada pun seringkali kekurangan sumber daya manusia yang terlatih dan anggaran yang memadai.
Dampak psikologis yang mendalam juga menjadi penghalang bagi korban untuk mencari perlindungan. Trauma, depresi, kecemasan, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), dan hilangnya kepercayaan diri adalah beberapa konsekuensi dari kekerasan. Kondisi mental ini membuat korban sulit untuk berpikir jernih, membuat keputusan, atau bahkan berbicara tentang apa yang mereka alami, sehingga memperlambat proses pencarian bantuan. Ketakutan akan balasan dari pelaku juga seringkali membuat korban memilih untuk diam.
Ketergantungan ekonomi juga menjadi faktor krusial. Perempuan yang tidak memiliki sumber penghasilan sendiri atau akses ke pekerjaan, akan sangat sulit melepaskan diri dari pelaku yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Ancaman pemutusan akses terhadap anak atau harta benda juga menjadi alat kontrol yang kuat bagi pelaku.
Upaya dan Harapan: Secercah Cahaya di Tengah Kegelapan
Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, bukan berarti tidak ada harapan. Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan memberikan perlindungan yang layak bagi perempuan korban kekerasan.
Salah satu terobosan penting adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini hadir sebagai payung hukum yang lebih komprehensif untuk menindak berbagai bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya tidak terakomodasi secara memadai dalam KUHP. UU TPKS tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada pemulihan korban, termasuk restitusi dan rehabilitasi. Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam sistem hukum Indonesia, menunjukkan komitmen negara untuk serius menangani kekerasan seksual.
Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Komnas Perempuan juga sangat vital. Mereka adalah garda terdepan yang mendampingi korban, memberikan bantuan hukum dan psikologis, serta menyuarakan isu-isu kekerasan terhadap perempuan di ranah publik. Tanpa kerja keras mereka, banyak kasus yang mungkin tidak akan terungkap dan banyak korban yang tidak akan mendapatkan bantuan.
Pentingnya rumah aman dan layanan terpadu juga semakin disadari. Rumah aman bukan hanya tempat berlindung sementara, tetapi juga pusat pemulihan di mana korban mendapatkan dukungan psikologis, keterampilan hidup, dan pendampingan untuk memulai hidup baru. Konsep layanan terpadu, yang menggabungkan bantuan hukum, medis, psikologis, dan sosial dalam satu atap, sangat krusial untuk memastikan korban mendapatkan dukungan holistik.
Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan sensitivitas gender dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender juga terus digalakkan. Harapannya, aparat dapat merespons laporan dengan lebih empati, profesional, dan berpihak pada korban.
Peran masyarakat secara umum juga tidak kalah penting. Edukasi sejak dini tentang kesetaraan gender, pentingnya menghormati tubuh dan hak orang lain, serta cara mengenali dan mencegah kekerasan harus terus digalakkan. Lingkungan yang suportif, di mana tetangga atau teman berani melaporkan atau membantu korban tanpa rasa takut, adalah kunci untuk memutus rantai kekerasan. Mengakhiri budaya diam dan victim-blaming adalah tanggung jawab kolektif kita semua.
Di Mana Perlindungan Sejati?: Sebuah Panggilan untuk Aksi Bersama
Pertanyaan "di mana perlindungan?" tidak bisa dijawab dengan menunjuk pada satu entitas atau satu undang-undang saja. Perlindungan sejati bagi perempuan korban kekerasan adalah hasil dari ekosistem yang bekerja secara sinergis dan berkelanjutan. Ini melibatkan:
- Negara: Dengan kebijakan yang berpihak pada korban, implementasi hukum yang tegas dan adil, alokasi anggaran yang memadai untuk layanan pendukung, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum.
- Masyarakat: Dengan perubahan paradigma dari budaya patriarki menjadi budaya kesetaraan, menghilangkan stigma, aktif mendukung korban, dan tidak mentolerir kekerasan dalam bentuk apa pun.
- Lembaga dan Aktivis: Yang terus berjuang di garis depan, mendampingi, mengadvokasi, dan menyuarakan hak-hak korban.
- Individu: Dengan membangun kesadaran diri, menghormati hak asasi manusia, dan menjadi agen perubahan di lingkungan masing-masing.
Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah alarm keras yang tidak bisa kita abaikan. Ini adalah cermin yang menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar dalam mewujudkan masyarakat yang adil, setara, dan bebas dari kekerasan. Perlindungan bukan hanya tentang hadirnya undang-undang atau lembaga, tetapi tentang bagaimana undang-undang itu ditegakkan, bagaimana lembaga itu beroperasi dengan hati nurani, dan bagaimana masyarakat merangkul korban dengan empati, bukan dengan penghakiman.
Kesimpulan
Kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat adalah krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius dan tindakan kolektif. Pertanyaan "di mana perlindungan?" bukan sekadar retorika, melainkan seruan untuk aksi nyata. Perlindungan sejati akan hadir ketika sistem hukum berfungsi secara adil, ketika masyarakat berhenti menyalahkan korban dan mulai berpihak pada kebenaran, ketika pendidikan kesetaraan gender menjadi norma, dan ketika setiap individu menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Mari kita bersama-sama menjadi bagian dari solusi, menciptakan ruang yang aman dan adil bagi setiap perempuan, karena setiap perempuan berhak hidup tanpa rasa takut dan kekerasan.