Berita  

Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Tuntut Reformasi Sistem Pendidikan

Gelombang Baru Reformasi Pendidikan: Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menuntut Perubahan Fundamental

Suara riuh demonstrasi kembali memecah keheningan jalan-jalan protokol kota-kota besar di Indonesia. Bukan sekadar hiruk pikuk biasa, kali ini, gelombang mahasiswa dengan almamater kebanggaan mereka, membawa spanduk dan poster berisi tuntutan yang sama: reformasi sistem pendidikan. Ini bukan kali pertama mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menyuarakan isu krusial bangsa, namun kembalinya mereka ke jalan raya menunjukkan bahwa ada masalah fundamental yang belum tersentuh, bahkan mungkin semakin memburuk, dalam pilar utama pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Gerakan ini bukan lahir dari kehampaan. Ia adalah akumulasi dari kekecewaan, kegelisahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan menuju kemajuan dan keadilan, justru terasa semakin jauh dari jangkauan, kurang relevan, dan terbebani oleh berbagai masalah struktural. Mahasiswa, sebagai bagian integral dari sistem tersebut dan calon penerus bangsa, merasakan langsung dampaknya. Mereka melihat, mendengar, dan mengalami sendiri bagaimana sistem yang ada gagal memenuhi janji-janji luhurnya.

Latar Belakang dan Akar Masalah yang Memicu Gelombang Protes

Beberapa faktor kunci menjadi pemicu utama kembalinya mahasiswa ke jalan. Pertama, biaya pendidikan yang semakin melambung tinggi. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang seharusnya menjamin keadilan akses, dalam praktiknya seringkali terasa memberatkan, bahkan menjadi penghalang bagi banyak calon mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu. Kenaikan biaya operasional, sumbangan pembangunan, hingga biaya hidup yang terus meningkat, menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir kalangan. Mahasiswa menuntut transparansi pengelolaan dana, evaluasi ulang struktur UKT, dan peningkatan subsidi pemerintah agar pendidikan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Kedua, kurikulum yang dianggap kurang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan zaman. Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 menuntut keterampilan baru yang adaptif, kreatif, dan kritis. Namun, banyak kurikulum di perguruan tinggi masih terasa kaku, terlalu teoritis, dan kurang membekali mahasiswa dengan soft skills serta kemampuan aplikatif yang dibutuhkan industri. Mahasiswa merasa terjebak dalam sistem yang menghasilkan lulusan dengan ijazah, tetapi minim kompetensi yang relevan. Mereka mendesak adanya perombakan kurikulum yang lebih dinamis, kolaboratif dengan industri, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata di masyarakat.

Ketiga, kualitas pengajaran dan fasilitas yang belum merata. Meskipun ada kampus-kampus unggulan dengan fasilitas mumpuni dan dosen-dosen berkaliber internasional, kesenjangan kualitas antara perguruan tinggi di kota besar dengan di daerah masih sangat mencolok. Keterbatasan sarana prasarana, minimnya akses terhadap teknologi mutakhir, serta beban kerja dosen yang terlalu padat seringkali mengurangi efektivitas proses belajar mengajar. Mahasiswa menuntut pemerataan kualitas, investasi pada infrastruktur pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan serta kompetensi para pendidik.

Keempat, minimnya ruang demokrasi dan kebebasan akademik di kampus. Beberapa tahun terakhir, isu pembungkaman kritik, intervensi pihak luar dalam otonomi kampus, dan sulitnya mahasiswa menyuarakan pendapat tanpa takut akan represi, menjadi sorotan. Kampus, yang seharusnya menjadi melting pot ide-ide baru dan tempat lahirnya pemikir kritis, justru terkadang terasa seperti menara gading yang tertutup. Mahasiswa menuntut kembalinya kampus sebagai benteng kebebasan berpikir, berpendapat, dan berinovasi, tanpa intimidasi atau sensor.

Kelima, isu kesejahteraan dan kesehatan mental mahasiswa. Tekanan akademik yang tinggi, tuntutan sosial, serta ketidakpastian masa depan, ditambah dengan kurangnya sistem dukungan yang memadai di kampus, membuat banyak mahasiswa mengalami masalah kesehatan mental. Fasilitas konseling yang terbatas, stigma negatif, dan kurangnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, menambah daftar panjang masalah yang perlu diatasi. Mahasiswa menyerukan agar perguruan tinggi lebih proaktif dalam menyediakan layanan kesehatan mental yang komprehensif dan menciptakan lingkungan kampus yang suportif.

Tuntutan Konkret dari Jalanan

Gerakan mahasiswa kali ini tidak hanya sebatas keluhan, melainkan membawa tuntutan konkret yang terstruktur. Beberapa poin utama yang mereka suarakan meliputi:

  1. Evaluasi dan Transparansi UKT: Menuntut audit menyeluruh terhadap pengelolaan dana pendidikan, penetapan UKT yang adil dan transparan, serta peninjauan kembali kenaikan UKT yang tidak rasional.
  2. Perombakan Kurikulum Berbasis Kebutuhan: Mendesak reformasi kurikulum yang adaptif, berbasis kompetensi, dan terintegrasi dengan kebutuhan industri serta tantangan global.
  3. Peningkatan Anggaran Pendidikan: Menuntut alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar dan efisien, khususnya untuk pemerataan kualitas dan peningkatan fasilitas di seluruh wilayah.
  4. Jaminan Kebebasan Akademik: Menuntut perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi mahasiswa, serta menjamin otonomi kampus dari intervensi politik atau kepentingan luar.
  5. Penyediaan Layanan Kesehatan Mental: Mendesak perguruan tinggi untuk menyediakan fasilitas dan tenaga ahli kesehatan mental yang memadai, serta membangun ekosistem kampus yang peduli terhadap kesejahteraan mahasiswa.
  6. Pemberdayaan Organisasi Mahasiswa: Mengembalikan peran strategis organisasi mahasiswa sebagai wadah aspirasi dan pengembangan diri, tanpa intervensi birokrasi kampus.

Dinamika Gerakan dan Respons Pihak Terkait

Gerakan mahasiswa kali ini menunjukkan karakteristik yang menarik. Meskipun mungkin tidak sebesar gerakan reformasi ’98, ia tersebar di banyak kota dan dikoordinasi secara organik melalui media sosial. Ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan adalah isu nasional yang dirasakan secara kolektif. Mahasiswa memanfaatkan platform digital untuk menggalang dukungan, menyebarkan informasi, dan membangun narasi.

Respons dari berbagai pihak bervariasi. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), umumnya mengklaim telah melakukan berbagai upaya reformasi melalui program-program seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Namun, bagi mahasiswa, program tersebut belum menyentuh akar masalah dan implementasinya masih jauh dari sempurna. Beberapa rektorat perguruan tinggi menunjukkan keterbukaan untuk berdialog, sementara yang lain cenderung bersikap defensif atau represif. Masyarakat umum juga menunjukkan simpati, meskipun ada pula yang masih skeptis terhadap efektivitas gerakan mahasiswa.

Menatap Masa Depan: Sebuah Panggilan Mendesak untuk Aksi Nyata

Kembalinya mahasiswa ke jalan bukan sekadar protes sesaat. Ini adalah panggilan darurat bagi seluruh elemen bangsa – pemerintah, perguruan tinggi, industri, orang tua, dan masyarakat – untuk secara serius meninjau kembali arah dan kualitas sistem pendidikan kita. Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika fondasinya rapuh, maka masa depan bangsa akan terancam.

Pemerintah harus menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk melakukan reformasi fundamental, bukan sekadar tambal sulam. Ini memerlukan keberanian untuk mengevaluasi kebijakan yang ada, mengalokasikan sumber daya yang memadai, dan membuka ruang partisipasi yang luas bagi mahasiswa dan pemangku kepentingan lainnya. Perguruan tinggi harus berani keluar dari zona nyaman, beradaptasi dengan tuntutan zaman, dan menjadikan mahasiswa sebagai mitra strategis dalam pengembangan kampus.

Dialog yang tulus, tanpa intimidasi, harus menjadi landasan utama. Mahasiswa, dengan energi dan idealisme mereka, adalah agen perubahan yang tak ternilai. Mengabaikan suara mereka berarti mengabaikan potensi masa depan. Reformasi sistem pendidikan adalah sebuah keniscayaan, bukan pilihan. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Masa depan Indonesia, dengan segala tantangan global yang menanti, sangat bergantung pada seberapa responsif kita terhadap tuntutan reformasi pendidikan yang kini digemakan kembali dari jalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *