Suara Tanah Leluhur: Penolakan Masyarakat Adat Terhadap Proyek Strategis Nasional di Lahan Mereka
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang melimpah, terus berupaya mempercepat pembangunan melalui berbagai program, salah satunya adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Namun, di balik janji-janji kemajuan tersebut, seringkali tersimpan narasi lain yang kurang terungkap: perjuangan dan penolakan masyarakat adat yang lahannya menjadi target proyek-proyek raksasa ini. Bagi banyak komunitas adat, pembangunan yang digembar-gemborkan sebagai solusi, justru menjadi ancaman serius terhadap eksistensi, budaya, dan keberlanjutan hidup mereka.
Hak Ulayat: Fondasi Kehidupan dan Identitas Masyarakat Adat
Untuk memahami akar penolakan masyarakat adat, kita harus terlebih dahulu memahami konsep "hak ulayat." Hak ulayat bukan sekadar kepemilikan tanah dalam arti legal formal modern; ia adalah sistem hukum adat yang mengatur hubungan antara masyarakat adat dengan tanah, air, dan sumber daya alam di wilayah mereka secara turun-temurun. Lebih dari sekadar sumber ekonomi, tanah ulayat adalah pusat kehidupan spiritual, identitas budaya, warisan leluhur, dan fondasi kearifan lokal. Di atas tanah itulah ritual adat dilangsungkan, pengetahuan tradisional diwariskan, dan sumber pangan serta obat-obatan diperoleh. Hilangnya tanah ulayat berarti hilangnya sebagian besar, jika tidak seluruh, identitas dan cara hidup mereka.
Meskipun UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat, implementasinya di lapangan masih jauh dari sempurna. Banyak wilayah adat belum memiliki pengakuan hukum formal, membuat mereka rentan terhadap klaim negara atau korporasi atas nama pembangunan. Ketika PSN digulirkan, seringkali lahan adat dianggap sebagai "tanah kosong" atau "tidak produktif" oleh pemerintah dan investor, padahal bagi masyarakat adat, setiap jengkal tanah memiliki makna dan fungsi yang mendalam.
Proyek Strategis Nasional: Janji Pembangunan versus Ancaman Eksistensi
Proyek Strategis Nasional mencakup berbagai sektor, mulai dari pembangunan infrastruktur (jalan tol, bandara, pelabuhan), energi (pembangkit listrik, pertambangan), hingga industri dan kawasan ekonomi khusus. Pemerintah berargumen bahwa PSN akan menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, meningkatkan konektivitas, dan pada akhirnya, mengurangi kemiskinan. Namun, ketika proyek-proyek ini direncanakan dan dilaksanakan di atas wilayah adat, seringkali prosesnya mengabaikan partisipasi bermakna dari komunitas yang terdampak.
Salah satu prinsip kunci dalam pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan adalah Free, Prior, and Informed Consent (Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan – FPIC). Prinsip ini mensyaratkan bahwa masyarakat adat harus diberikan informasi lengkap tentang proyek, dampaknya, serta hak-hak mereka, dan kemudian memberikan persetujuan mereka secara bebas sebelum proyek dimulai. Sayangnya, dalam banyak kasus PSN, proses FPIC seringkali tidak dijalankan dengan semestinya. Konsultasi dilakukan sebagai formalitas, informasi yang diberikan tidak lengkap atau bias, dan tekanan untuk menyetujui proyek seringkali terjadi, merusak kohesi sosial dalam komunitas.
Dampak Nyata Penolakan dan Perjuangan Masyarakat Adat
Penolakan masyarakat adat terhadap PSN bukan tanpa alasan. Pengalaman pahit di masa lalu dan proyek-proyek serupa di tempat lain telah menunjukkan dampak negatif yang masif:
-
Penggusuran dan Dislokasi Sosial: Ribuan orang terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka, kehilangan rumah, makam keramat, dan situs-situs budaya penting. Mereka dipindahkan ke lingkungan yang asing, seringkali tanpa kompensasi yang layak atau alternatif mata pencarian yang memadai, menyebabkan kemiskinan baru dan trauma psikologis.
-
Kerusakan Lingkungan dan Hilangnya Mata Pencarian: Proyek-proyek skala besar seperti pertambangan, perkebunan monokultur, atau pembangunan bendungan, seringkali menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Ini secara langsung merusak ekosistem yang menjadi sumber pangan, air bersih, dan obat-obatan bagi masyarakat adat, menghancurkan mata pencarian tradisional seperti berburu, meramu, bertani, dan menangkap ikan.
-
Erosi Budaya dan Hilangnya Kearifan Lokal: Ketika masyarakat adat terpisah dari tanah mereka, pengetahuan tradisional tentang pengelolaan hutan, pertanian berkelanjutan, dan adaptasi terhadap lingkungan ikut terancam punah. Bahasa adat, ritual, dan praktik sosial yang terkait erat dengan wilayah adat juga tergerus, menyebabkan hilangnya identitas budaya yang tak ternilai.
-
Kriminalisasi dan Kekerasan: Perjuangan masyarakat adat seringkali berujung pada kriminalisasi para aktivis dan pemimpin adat. Mereka dituduh menghambat pembangunan, melakukan tindakan ilegal, bahkan difitnah sebagai teroris. Kekerasan fisik, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia seringkali terjadi dalam upaya meredam penolakan.
-
Perpecahan Komunitas: Taktik "pecah belah" sering digunakan untuk melemahkan perlawanan. Tawaran kompensasi yang tidak merata atau janji-janji palsu dapat menciptakan konflik internal di antara anggota komunitas, merusak struktur sosial yang telah terbangun selama berabad-abad.
Meskipun menghadapi tantangan yang luar biasa, masyarakat adat terus berjuang dengan berbagai cara. Mereka melakukan demonstrasi damai, mengirimkan petisi, mengajukan gugatan hukum, dan membangun jaringan advokasi dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta media. Mereka mengangkat isu ini ke tingkat nasional dan internasional, mencari dukungan dan solidaritas untuk hak-hak mereka. Perjuangan mereka adalah seruan untuk keadilan, pengakuan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Menuju Pembangunan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Penolakan masyarakat adat terhadap PSN bukanlah penolakan terhadap pembangunan itu sendiri. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk model pembangunan yang berbeda—pembangunan yang menghargai hak asasi manusia, mengakui keberagaman budaya, melestarikan lingkungan, dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Ini adalah tuntutan untuk pembangunan yang inklusif, di mana suara komunitas lokal didengar dan dihormati sejak tahap perencanaan.
Beberapa langkah krusial perlu diambil untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan:
- Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat: Pemerintah harus segera mengesahkan dan mengimplementasikan Undang-Undang Masyarakat Adat yang komprehensif. Pengakuan hukum atas wilayah adat adalah fondasi untuk melindungi hak-hak mereka dari klaim pihak luar.
- Penerapan Prinsip FPIC yang Ketat: Setiap proyek yang berpotensi berdampak pada masyarakat adat harus melalui proses FPIC yang sungguh-sungguh, transparan, dan tidak diskriminatif. Persetujuan harus diberikan secara bebas, didahulukan, dan didasarkan pada informasi yang lengkap dan mudah dipahami oleh komunitas.
- Mekanisme Penyelesaian Konflik yang Adil: Perlu dibentuk lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang independen, imparsial, dan memiliki legitimasi di mata masyarakat adat untuk menangani konflik agraria dan dampak proyek.
- Evaluasi Ulang PSN: Proyek-proyek yang terbukti menimbulkan dampak negatif besar terhadap masyarakat adat dan lingkungan harus dievaluasi ulang, dan jika perlu, dibatalkan atau direlokasi.
- Pemberdayaan Masyarakat Adat: Mendukung inisiatif pembangunan yang berasal dari masyarakat adat itu sendiri, yang berbasis pada kearifan lokal dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi mereka.
Suara tanah leluhur yang menolak PSN adalah cerminan dari ketidakseimbangan kekuasaan dan ketidakadilan dalam proses pembangunan. Mengabaikan suara ini berarti mengorbankan warisan budaya yang tak ternilai, merusak ekosistem vital, dan melukai keadilan sosial. Masa depan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan sejahtera tidak dapat dicapai dengan mengorbankan hak-hak dan martabat masyarakat adat. Sebaliknya, mengakui, menghormati, dan memberdayakan mereka adalah kunci untuk membangun bangsa yang lebih kuat, adil, dan harmonis.