Berita  

Masyarakat Adat Tolak Proyek Strategis Nasional di Lahan Mereka

Masyarakat Adat Tolak PSN di Lahan Mereka: Antara Pembangunan, Kedaulatan, dan Kelestarian

Indonesia, dengan bentangan geografis yang kaya dan keberagaman budayanya, tengah gencar menggalakkan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) demi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Dari infrastruktur jalan tol, bendungan, kawasan industri, hingga ibu kota negara baru, PSN dicanangkan sebagai lokomotif kemajuan bangsa. Namun, di balik narasi ambisius ini, tersimpan sebuah ironi yang kerap luput dari perhatian: perlawanan gigih dari masyarakat adat yang tanah leluhurnya menjadi target proyek-proyek tersebut. Penolakan ini bukan sekadar resistensi terhadap pembangunan, melainkan sebuah perjuangan fundamental atas hak, kedaulatan, identitas, dan kelestarian lingkungan yang telah mereka jaga turun-temurun.

Pembangunan Versus Kedaulatan: Sebuah Konflik Akar Rumput

Konsep PSN, yang diatur dalam Peraturan Presiden, bertujuan mempercepat realisasi proyek-proyek penting dengan kemudahan perizinan dan dukungan penuh pemerintah. Tujuannya mulia: menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan benturan tak terhindarkan dengan keberadaan masyarakat adat yang mendiami wilayah yang kaya akan sumber daya alam, seringkali belum terdaftar secara formal dalam peta negara, namun secara adat telah diakui dan dikelola.

Masyarakat adat memiliki ikatan yang sangat mendalam dengan tanah dan wilayahnya. Bagi mereka, tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan entitas hidup yang menyediakan pangan, sandang, papan, obat-obatan, serta tempat bersemayamnya arwah leluhur dan pusat ritual keagamaan. Tanah adalah identitas, memori kolektif, dan sumber kearifan lokal yang telah membentuk cara hidup, sistem sosial, dan budaya mereka selama berabad-abad. Oleh karena itu, ketika PSN datang dan mengklaim wilayah tersebut, ia tidak hanya mengambil lahan, tetapi juga merenggut akar kehidupan dan identitas suatu komunitas.

Mengapa Masyarakat Adat Berkata "Tidak"? Empat Pilar Penolakan

Penolakan masyarakat adat terhadap PSN umumnya berpijak pada empat pilar utama: ancaman terhadap hak ulayat, kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan, keruntuhan sosial dan budaya, serta proses partisipasi yang minim dan tidak bermakna.

1. Ancaman Terhadap Hak Ulayat dan Kedaulatan Wilayah Adat:
Meskipun Konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, implementasinya masih jauh panggang dari api. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga mengakui desa adat. Namun, pengakuan ini seringkali terbentur pada birokrasi yang rumit, ketidakjelasan batas wilayah, dan minimnya peta partisipatif yang diakui negara.

Ketika PSN dicanangkan, seringkali lahan yang masuk dalam target proyek adalah wilayah adat yang belum memiliki penetapan resmi dari pemerintah. Akibatnya, wilayah tersebut dianggap "tanah negara" atau "lahan kosong" yang bebas untuk dikembangkan. Proses pembebasan lahan seringkali dilakukan tanpa konsultasi yang setara dan transparan, apalagi mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan tanpa paksaan (PPLH atau Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat. Ganti rugi yang ditawarkan pun seringkali tidak sepadan dengan nilai ekonomi, ekologi, dan spiritual tanah yang hilang. Ini bukan hanya masalah ekonomi, melainkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan mereka atas wilayah adat.

2. Dampak Lingkungan yang Tak Terpulihkan:
Wilayah adat seringkali merupakan daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi dan ekosistem yang rapuh, seperti hutan tropis, lahan gambut, pesisir, dan pegunungan. Masyarakat adat telah menjadi penjaga lingkungan terbaik selama ribuan tahun, dengan kearifan lokal yang mengatur hubungan harmonis antara manusia dan alam. Sistem pertanian lestari, pengelolaan hutan berbasis adat, dan ritual yang menghormati alam adalah praktik yang menjaga keseimbangan ekologi.

Proyek-proyek strategis seperti pertambangan skala besar, pembangunan waduk, pabrik semen, atau perkebunan monokultur, acapkali membawa dampak lingkungan yang masif. Deforestasi, pencemaran air dan udara, hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan perubahan iklim mikro adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Bagi masyarakat adat, kerusakan lingkungan berarti hilangnya sumber pangan (ikan, hasil hutan, kebun), air bersih, obat-obatan tradisional, dan tempat-tempat suci. Dampak ini bukan hanya merusak alam, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup dan kesehatan generasi mendatang.

3. Keruntuhan Sosial dan Budaya:
Penolakan masyarakat adat juga muncul dari kekhawatiran akan disintegrasi sosial dan erosi budaya. Penggusuran paksa atau relokasi akibat PSN memecah belah komunitas, menghilangkan ikatan kekerabatan, dan memutus mata rantai tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Generasi muda kehilangan akses ke pengetahuan leluhur tentang pengelolaan lahan, ritual, dan bahasa adat.

Perubahan pola hidup dari agraris menjadi buruh upahan di lingkungan proyek, seringkali tanpa persiapan yang memadai, menciptakan masalah sosial baru seperti kemiskinan struktural, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, dan konflik internal. Hilangnya ruang-ruang komunal dan situs-situs sakral juga berarti hilangnya pusat identitas dan kohesi sosial yang telah menjaga keutuhan komunitas selama ini.

4. Proses Partisipasi yang Cacat dan Minim Transparansi:
Salah satu kritik terbesar terhadap pelaksanaan PSN adalah minimnya proses partisipasi yang bermakna dari masyarakat terdampak, khususnya masyarakat adat. Konsultasi publik yang diadakan seringkali bersifat formalitas, sekadar menggugurkan kewajiban tanpa mendengarkan aspirasi dan keberatan secara substantif. Informasi yang diberikan tidak lengkap, tidak transparan, dan seringkali menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh masyarakat adat.

Prinsip PPLH/FPIC, yang merupakan standar internasional untuk proyek-proyek di wilayah masyarakat adat, jarang diterapkan secara benar. Masyarakat seringkali dihadapkan pada tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi ketika menolak proyek. Janji-janji kompensasi atau fasilitas seringkali tidak terealisasi, meninggalkan rasa kecewa dan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah dan investor.

Studi Kasus: Suara Penolakan dari Berbagai Penjuru Nusantara

Kasus-kasus penolakan masyarakat adat terhadap PSN tersebar di seluruh Indonesia. Misalnya, perlawanan masyarakat adat Rempang Galang di Batam terhadap Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City yang mengancam penggusuran ribuan warga dan enam kampung adat. Konflik lahan di Wadas, Jawa Tengah, terkait proyek Bendungan Bener yang membutuhkan penambangan andesit di wilayah adat, juga menjadi sorotan nasional. Di Sulawesi, masyarakat adat di berbagai wilayah menghadapi ancaman dari proyek tambang nikel yang masif. Sementara itu, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur juga tak lepas dari protes masyarakat adat setempat yang mengkhawatirkan hilangnya hutan adat dan hak-hak tradisional mereka. Setiap kasus ini mencerminkan pola serupa: pembangunan yang mengabaikan hak, lingkungan, dan kedaulatan masyarakat adat.

Mencari Titik Temu: Pembangunan Berkelanjutan yang Berkeadilan

Penolakan masyarakat adat terhadap PSN bukan semata-mata bentuk anti-pembangunan. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk pembangunan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Mereka menawarkan model pembangunan yang selaras dengan alam, menghargai keberagaman budaya, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Untuk mengatasi konflik ini, diperlukan perubahan paradigma yang mendasar. Pertama, pemerintah harus mempercepat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, termasuk hak ulayat, melalui legislasi yang kuat dan implementasi yang konsisten. Kedua, prinsip PPLH/FPIC harus diterapkan secara sungguh-sungguh dan transparan dalam setiap tahapan perencanaan dan pelaksanaan PSN. Ini berarti memberikan masyarakat adat hak veto, bukan sekadar hak untuk didengar. Ketiga, perlu adanya kajian dampak lingkungan dan sosial yang komprehensif dan independen, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat. Keempat, pemerintah dan investor harus mengedepankan pendekatan pembangunan yang menghargai kearifan lokal dan mencari solusi yang saling menguntungkan, bukan sekadar mengedepankan keuntungan ekonomi jangka pendek.

Masyarakat adat adalah penjaga terakhir dari keanekaragaman hayati dan budaya Indonesia. Suara penolakan mereka adalah alarm bagi kita semua, pengingat bahwa pembangunan sejati tidak boleh mengorbankan hak-hak fundamental, keberlanjutan lingkungan, dan kekayaan budaya bangsa. Hanya dengan mendengarkan, menghormati, dan melibatkan mereka secara setara, Indonesia dapat mencapai pembangunan yang benar-benar strategis, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *