Berita  

Kebijakan terbaru pemerintah dalam penanganan perubahan iklim

Langkah Progresif Indonesia: Kebijakan Terbaru Pemerintah dalam Penanganan Perubahan Iklim Menuju Net Zero Emissions

Pendahuluan: Urgensi Krisis Iklim dan Posisi Strategis Indonesia

Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata dan mendesak bagi keberlanjutan bumi dan kehidupan manusia. Kenaikan suhu global, cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, kenaikan permukaan air laut, hingga hilangnya keanekaragaman hayati, adalah manifestasi dari krisis yang menuntut respons kolektif dan ambisius dari seluruh negara. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan garis pantai yang panjang, kekayaan hutan tropis yang vital sebagai paru-paru dunia, dan masyarakat yang sangat bergantung pada sektor alam, Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, di sisi lain, Indonesia juga memegang peran kunci dan strategis dalam upaya mitigasi global, berkat potensi alamnya yang melimpah dan komitmen politiknya untuk berkontribusi pada solusi iklim.

Menyadari urgensi tersebut, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang semakin kuat dan konkret dalam menanggulangi perubahan iklim. Dari ratifikasi Persetujuan Paris hingga penetapan target Net Zero Emissions (NZE), perjalanan Indonesia dalam transisi menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim terus mengalami evolusi. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai kebijakan terbaru yang telah dan sedang diimplementasikan pemerintah Indonesia, menyoroti pilar-pilar utama, tantangan, serta peluang yang menyertainya dalam mencapai masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

I. Memperkuat Fondasi: Komitmen Global dan Target Nasional

Komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim berakar kuat pada Persetujuan Paris 2015, di mana Indonesia menyampaikan target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Seiring dengan peningkatan ambisi global, Indonesia telah meningkatkan targetnya melalui Enhanced NDC yang disampaikan pada tahun 2022, dengan target pengurangan emisi GRK menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Puncak dari ambisi nasional ini adalah penetapan target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Target ini bukan sekadar janji, melainkan sebuah peta jalan komprehensif yang memerlukan transformasi fundamental di berbagai sektor, dari energi, industri, kehutanan, pertanian, hingga pengelolaan limbah. Untuk mewujudkan NZE, pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi dan strategi, termasuk Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dan berbagai Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi payung hukum bagi implementasi kebijakan iklim.

II. Pilar-Pilar Utama Kebijakan Terbaru dalam Penanganan Perubahan Iklim

Kebijakan terbaru pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pilar strategis:

A. Dekarbonisasi Sektor Energi dan Transisi Energi Bersih

Sektor energi merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, dekarbonisasi sektor ini menjadi prioritas utama. Kebijakan terbaru berfokus pada:

  1. Peningkatan Porsi Energi Baru Terbarukan (EBT): Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan terus meningkat hingga mencapai target NZE. Ini didukung oleh pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar, PLTB (bayu), PLTA (air), dan energi panas bumi. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, misalnya, menggarisbawahi penambahan kapasitas EBT sebesar 51,6% dari total penambahan pembangkit.
  2. Penghentian Dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara: Melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang didukung oleh kelompok negara-negara maju (G7), Indonesia berkomitmen untuk mempercepat penghentian dini operasional PLTU batubara dan mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini adalah langkah monumental untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
  3. Efisiensi Energi dan Elektrifikasi Transportasi: Kebijakan juga mendorong peningkatan efisiensi energi di sektor industri, komersial, dan rumah tangga, serta elektrifikasi transportasi melalui pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV) dan infrastruktur pendukungnya.

B. Konservasi dan Restorasi Lahan (FOLU Net Sink 2030)

Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) merupakan kontributor penting dalam upaya mitigasi Indonesia. Pemerintah telah meluncurkan target ambisius "Indonesia’s FOLU Net Sink 2030," yang berarti bahwa pada tahun 2030, sektor FOLU akan menyerap lebih banyak emisi daripada yang dilepaskannya. Kebijakan terkait meliputi:

  1. Pengendalian Deforestasi dan Degradasi Hutan: Melalui moratorium izin baru pada hutan primer dan lahan gambut, serta penegakan hukum yang lebih ketat terhadap perambahan hutan ilegal.
  2. Restorasi Ekosistem Gambut dan Mangrove: Program restorasi lahan gambut yang terdegradasi dan rehabilitasi mangrove skala besar terus digalakkan, mengingat peran vital kedua ekosistem ini sebagai penyerap karbon dan pelindung garis pantai.
  3. Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan: Pemberdayaan masyarakat lokal melalui skema perhutanan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjaga kelestarian hutan.

C. Pengembangan Mekanisme Ekonomi Karbon

Salah satu terobosan kebijakan terbaru dan paling signifikan adalah pengembangan mekanisme ekonomi karbon, yang diharapkan dapat menjadi instrumen efektif dalam mencapai target pengurangan emisi.

  1. Pajak Karbon: Indonesia telah memulai implementasi pajak karbon pada sektor pembangkit listrik tenaga batubara sebagai tahap awal. Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan insentif ekonomi bagi pelaku usaha untuk mengurangi emisi dan berinvestasi pada teknologi rendah karbon.
  2. Bursa Karbon (Carbon Exchange): Pada akhir tahun 2023, Indonesia secara resmi meluncurkan Bursa Karbon. Ini memungkinkan perusahaan dan entitas lain untuk membeli dan menjual unit karbon atau sertifikat emisi, mendorong pasar yang efisien untuk pengurangan emisi dan memberikan nilai ekonomi pada upaya dekarbonisasi. Kebijakan ini juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
  3. Sistem Registri Nasional (SRN) Pengendalian Perubahan Iklim: Sistem ini menjadi tulang punggung bagi transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan emisi GRK dan upaya mitigasi, memastikan setiap proyek dan aksi mitigasi tercatat dengan baik.

D. Adaptasi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

Selain mitigasi, kebijakan terbaru juga memberikan perhatian besar pada upaya adaptasi dan peningkatan ketahanan masyarakat serta ekosistem terhadap dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.

  1. Pembangunan Infrastruktur Tahan Iklim: Pengembangan infrastruktur yang mampu menahan dampak cuaca ekstrem, seperti bendungan, sistem drainase yang lebih baik, dan pembangunan tanggul pantai.
  2. Ketahanan Pangan dan Air: Program-program yang mendukung praktik pertanian berkelanjutan, pengembangan varietas tanaman yang tahan iklim, serta pengelolaan sumber daya air yang efisien untuk menjamin ketahanan pangan dan air di tengah perubahan pola iklim.
  3. Sistem Peringatan Dini Bencana: Peningkatan kapasitas sistem peringatan dini untuk bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, kekeringan) dan bencana lainnya untuk meminimalkan kerugian jiwa dan harta benda.

E. Pembiayaan Iklim dan Inovasi Teknologi

Upaya penanganan perubahan iklim membutuhkan investasi besar. Pemerintah telah menginisiasi berbagai mekanisme pembiayaan inovatif:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Hijau: Integrasi aspek iklim dalam perencanaan dan penganggaran nasional, termasuk melalui alokasi dana khusus dan instrumen fiskal hijau.
  2. Green Sukuk dan Pembiayaan Berkelanjutan: Penerbitan obligasi hijau (Green Sukuk) oleh pemerintah dan dukungan terhadap sektor keuangan untuk mengembangkan produk-produk pembiayaan berkelanjutan.
  3. Dana Lingkungan Hidup (DLH): Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Dana Lingkungan Hidup untuk mengelola dana yang bersumber dari berbagai mekanisme, termasuk nilai ekonomi karbon dan dukungan internasional.
  4. Kemitraan Internasional: Pemanfaatan berbagai skema pembiayaan iklim global seperti Green Climate Fund (GCF) dan kemitraan bilateral/multilateral lainnya, termasuk JETP yang disebutkan sebelumnya.
  5. Riset dan Pengembangan Teknologi: Dukungan terhadap inovasi teknologi rendah karbon dan adaptasi iklim, termasuk riset di bidang EBT, penangkapan karbon, dan sistem pertanian cerdas iklim.

III. Tantangan dan Peluang ke Depan

Implementasi kebijakan-kebijakan ambisius ini tentu tidak tanpa tantangan. Tantangan utama meliputi:

  • Pembiayaan: Kebutuhan investasi yang sangat besar untuk transisi energi dan adaptasi iklim.
  • Teknologi dan Kapasitas: Kesenjangan dalam penguasaan teknologi rendah karbon dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
  • Koordinasi Lintas Sektor: Memastikan sinergi antara berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
  • Transisi yang Adil (Just Transition): Memastikan bahwa kebijakan iklim tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak proporsional pada kelompok rentan atau pekerja di sektor-sektor berbasis fosil.
  • Kesadaran dan Partisipasi Publik: Meningkatkan pemahaman dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat.

Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar:

  • Ekonomi Hijau: Pengembangan sektor EBT, industri daur ulang, dan pertanian berkelanjutan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
  • Investasi: Komitmen iklim Indonesia menarik minat investasi dari dalam dan luar negeri untuk proyek-proyek hijau.
  • Kepemimpinan Regional: Indonesia dapat menjadi pemimpin dan contoh bagi negara-negara berkembang lainnya dalam transisi iklim.
  • Peningkatan Kualitas Hidup: Udara bersih, lingkungan yang sehat, dan ketahanan terhadap bencana akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

IV. Langkah ke Depan dan Harapan

Kebijakan terbaru pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim menunjukkan arah yang jelas dan ambisi yang tinggi. Dari penguatan regulasi, percepatan transisi energi, perlindungan ekosistem vital, hingga pengembangan mekanisme ekonomi karbon, Indonesia bergerak progresif menuju masa depan yang rendah karbon dan berketahanan iklim.

Namun, keberhasilan visi ini sangat bergantung pada konsistensi implementasi, pengawasan yang ketat, inovasi yang berkelanjutan, dan kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, masyarakat sipil, dan mitra internasional. Peran aktif setiap individu dan institusi menjadi kunci untuk mewujudkan target Net Zero Emissions dan membangun Indonesia yang tangguh serta lestari bagi generasi mendatang. Krisis iklim adalah tantangan terbesar abad ini, namun juga peluang terbesar untuk membangun kembali ekonomi dan masyarakat kita dengan cara yang lebih adil, bersih, dan berkelanjutan. Indonesia, dengan kebijakan-kebijakannya yang progresif, telah siap mengambil peran utamanya dalam narasi global ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *