Berita  

Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan?

Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan?

Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar isu statistik; ia adalah luka menganga dalam struktur sosial yang merenggut martabat, merusak psikis, dan bahkan mengancam nyawa. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, fenomena ini terus meningkat, menciptakan gelombang ketakutan dan keputusasaan di kalangan perempuan. Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah: di mana perlindungan bagi mereka yang menjadi korban? Mengapa di tengah kemajuan peradaban dan penegakan hak asasi manusia, angka kekerasan ini justru merangkak naik, seolah menertawakan segala upaya yang telah dilakukan?

Fenomena Peningkatan dan Akar Masalah yang Kompleks

Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara konsisten menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Meskipun peningkatan ini sebagian bisa diinterpretasikan sebagai indikasi keberanian korban untuk melapor dan meningkatnya kesadaran masyarakat, namun jumlah absolut kasus yang terungkap tetap mengkhawatirkan. Laporan Tahunan Komnas Perempuan selalu menyoroti berbagai bentuk kekerasan, mulai dari ranah personal (KDRT), komunitas, hingga negara.

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia menjadi katalisator bagi peningkatan ini. Pembatasan sosial dan karantina wilayah, yang seharusnya melindungi, justru menjebak banyak perempuan dalam lingkaran kekerasan di rumah mereka sendiri. Tekanan ekonomi, stres, dan isolasi menciptakan lingkungan yang rentan bagi pelaku untuk melampiaskan frustrasi, sementara korban kesulitan mencari pertolongan. Selain itu, era digital juga membuka babak baru kekerasan, yaitu kekerasan berbasis gender online (KBGO). Pelecehan daring, doxing, penyebaran konten intim non-konsensual, hingga ancaman siber, kini menjadi momok baru yang tak kalah merusak.

Akar masalah kekerasan terhadap perempuan sangat kompleks, berakar pada struktur patriarki yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Sistem ini menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi subordinat, menciptakan ketidaksetaraan gender yang menjadi pupuk bagi segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Mitos-mitos seperti "perempuan adalah properti", "korban yang memancing", atau "urusan rumah tangga adalah privasi" terus dipertahankan, menjustifikasi kekerasan dan menyulitkan korban untuk mencari keadilan. Budaya permisif terhadap kekerasan, minimnya edukasi tentang kesetaraan gender, serta impunitas bagi pelaku juga memperparuk situasi.

Wajah-Wajah Kekerasan yang Tersembunyi dan Terang-terangan

Kekerasan terhadap perempuan bukanlah monolit; ia memiliki banyak wajah dan bentuk yang seringkali tidak disadari, bahkan oleh korban itu sendiri. Bentuk-bentuk kekerasan yang paling umum meliputi:

  1. Kekerasan Fisik: Pukulan, tendangan, cekikan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Luka fisik seringkali menjadi bukti yang paling nyata, namun trauma psikologis yang ditimbulkan jauh lebih dalam.
  2. Kekerasan Seksual: Pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, hingga penyebaran foto/video intim tanpa persetujuan. Kekerasan ini merenggut otonomi tubuh dan seringkali meninggalkan luka batin yang tak tersembuhkan.
  3. Kekerasan Psikologis/Emosional: Intimidasi, ancaman, merendahkan, gaslighting, pengasingan sosial, atau kontrol berlebihan. Meskipun tanpa luka fisik, kekerasan ini merusak kepercayaan diri, kesehatan mental, dan identitas korban secara perlahan.
  4. Kekerasan Ekonomi: Penelantaran, perampasan harta, melarang perempuan bekerja atau mengontrol penghasilan secara paksa, hingga eksploitasi ekonomi. Kekerasan ini membuat perempuan bergantung dan sulit melepaskan diri dari pelaku.
  5. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO): Pelecehan siber, doxing (penyebaran informasi pribadi), penyebaran konten intim non-konsensual, ancaman online, hingga manipulasi digital. Bentuk kekerasan ini memiliki jangkauan luas dan efek yang merusak reputasi serta psikis korban.

Setiap bentuk kekerasan meninggalkan jejak traumatis yang mendalam. Korban seringkali mengalami depresi, kecemasan, PTSD (gangguan stres pasca-trauma), insomnia, gangguan makan, hingga kecenderungan bunuh diri. Mereka juga menghadapi stigma sosial, isolasi, dan kesulitan untuk kembali berpartisipasi dalam masyarakat.

Tantangan dalam Mencari Perlindungan: Sebuah Ironi

Meskipun telah ada berbagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum dan sosial bagi korban kekerasan, kenyataannya jalan menuju keadilan dan pemulihan masih dipenuhi terjal dan berliku. Pertanyaan "Di mana perlindungan?" menjadi sangat relevan ketika kita melihat berbagai tantangan yang ada:

  1. Kerangka Hukum yang Belum Optimal (Sebelum dan Sesudah UU TPKS):
    Sebelum disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022, Indonesia sangat kekurangan payung hukum yang komprehensif untuk kekerasan seksual. Korban seringkali terbentur pada pasal-pasal KUHP yang tidak memadai, dengan definisi yang sempit dan pembuktian yang sulit. Bahkan dengan adanya UU TPKS, implementasinya masih menghadapi tantangan besar. Regulasi turunan, pelatihan aparat penegak hukum, dan sosialisasi kepada masyarakat masih perlu digencarkan. Selain itu, UU KDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) juga masih memiliki celah, terutama dalam hal pemantauan dan penegakan yang konsisten.

  2. Aparat Penegak Hukum yang Belum Sepenuhnya Sensitif Gender:
    Banyak korban yang melaporkan kekerasan justru mengalami reviktimisasi di kantor polisi atau pengadilan. Stigma, pertanyaan yang menyudutkan, victim blaming (menyalahkan korban), dan kurangnya empati dari aparat masih sering terjadi. Tidak semua aparat terlatih untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender dengan perspektif korban, sehingga proses pelaporan menjadi sangat menakutkan dan melelahkan.

  3. Stigma Sosial dan Budaya Patriarki:
    Di banyak komunitas, kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai "aib keluarga" atau "masalah pribadi" yang harus diselesaikan secara internal. Korban seringkali ditekan untuk bungkam, menarik laporan, atau bahkan "berdamai" dengan pelaku demi menjaga nama baik keluarga. Ketakutan akan dikucilkan, dihakimi, atau kehilangan dukungan keluarga membuat banyak korban memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami.

  4. Minimnya Layanan Dukungan yang Memadai:
    Jumlah rumah aman (shelter), layanan konseling psikologis, dan bantuan hukum gratis yang berkualitas masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Akses terhadap layanan ini seringkali sulit dijangkau secara geografis maupun finansial. Korban membutuhkan tempat yang aman, dukungan psikologis untuk memulihkan diri, dan pendampingan hukum yang profesional, namun fasilitas ini belum tersedia secara merata.

  5. Keterbatasan Data dan Riset:
    Pengumpulan data yang komprehensif dan terstandardisasi mengenai kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan. Tanpa data yang akurat, sulit untuk merancang kebijakan yang efektif, mengalokasikan sumber daya dengan tepat, dan mengukur dampak dari intervensi yang telah dilakukan.

Langkah Konkret Menuju Perlindungan Efektif

Menjawab pertanyaan "Di mana perlindungan?", jawabannya adalah perlindungan harus dibangun secara kolektif, dari berbagai lini, dan dengan komitmen yang tak tergoyahkan.

  1. Penguatan dan Implementasi Hukum yang Tegas:
    Pemerintah harus memastikan implementasi UU TPKS berjalan efektif dengan mengeluarkan peraturan pelaksana yang jelas, melatih seluruh aparat penegak hukum, dan mengalokasikan anggaran yang memadai. Selain itu, diperlukan evaluasi berkala terhadap seluruh regulasi terkait kekerasan perempuan untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya. Hukuman yang tegas bagi pelaku dan perlindungan yang komprehensif bagi korban harus menjadi prioritas.

  2. Peningkatan Kapasitas dan Sensitivitas Aparat Penegak Hukum:
    Pelatihan sensitivitas gender dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender secara khusus harus menjadi kurikulum wajib bagi polisi, jaksa, hakim, dan petugas layanan publik lainnya. Dibutuhkan unit khusus yang terlatih untuk menangani kasus ini, memastikan proses pelaporan yang ramah korban, dan menghindari reviktimisasi.

  3. Edukasi dan Kampanye Kesadaran Publik:
    Perubahan pola pikir masyarakat adalah kunci. Kampanye masif tentang kesetaraan gender, hak asasi perempuan, dan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan harus dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari sekolah, lingkungan keluarga, hingga media massa. Menggugah peran laki-laki untuk menjadi agen perubahan dan menolak kekerasan juga sangat krusial.

  4. Perluasan dan Peningkatan Kualitas Layanan Dukungan:
    Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama untuk memperbanyak dan meningkatkan kualitas rumah aman, pusat konseling, dan layanan bantuan hukum di seluruh wilayah. Aksesibilitas layanan ini harus dipermudah, dengan menyediakan hotline 24 jam dan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia.

  5. Pengumpulan Data yang Akurat dan Riset Berbasis Bukti:
    Pemerintah harus berinvestasi dalam sistem pengumpulan data yang terstandardisasi dan komprehensif untuk memahami skala dan dinamika kekerasan terhadap perempuan. Data ini akan menjadi dasar bagi perumusan kebijakan yang tepat sasaran.

  6. Peran Aktif Masyarakat dan Komunitas:
    Masyarakat sipil, tokoh agama, tokoh adat, dan komunitas harus menjadi garda terdepan dalam mencegah kekerasan, memberikan dukungan kepada korban, dan menciptakan lingkungan yang aman. Membangun "lingkaran perlindungan" di tingkat komunitas, di mana tetangga saling peduli dan berani bertindak ketika melihat indikasi kekerasan, adalah langkah vital.

Kesimpulan

Peningkatan kekerasan terhadap perempuan adalah alarm keras bagi kita semua. Pertanyaan "Di mana perlindungan?" tidak bisa dijawab hanya oleh satu pihak. Perlindungan adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, keluarga, dan setiap individu. Kita tidak bisa lagi membiarkan perempuan hidup dalam ketakutan. Saatnya kita bertindak, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kebijakan yang kuat, penegakan hukum yang adil, edukasi yang berkelanjutan, dan dukungan sosial yang kokoh. Hanya dengan upaya bersama dan komitmen yang teguh, kita bisa mewujudkan masyarakat yang aman, setara, dan bebas dari kekerasan bagi setiap perempuan. Masa depan yang tanpa kekerasan adalah hak asasi yang harus kita perjuangkan bersama.

Exit mobile version