Berita  

Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Tuntut Reformasi Sistem Pendidikan

Gelombang Baru Protes: Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Tuntut Reformasi Sistem Pendidikan yang Berkeadilan

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus dan tuntutan akademik yang kian menumpuk, gelombang mahasiswa Indonesia sekali lagi memilih untuk meninggalkan bangku kuliah, berorganisasi, dan turun ke jalan. Bukan sekadar mencari sensasi atau ikut-ikutan, gerakan ini adalah ekspresi mendalam dari keresahan kolektif terhadap kondisi sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang dianggap semakin jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa. Dengan spanduk-spanduk berisi tuntutan, orasi-orasi yang membakar semangat, dan tekad yang tak tergoyahkan, mahasiswa kembali turun ke jalan tuntut reformasi sistem pendidikan yang fundamental dan berkeadilan.

Fenomena ini bukanlah hal baru dalam sejarah bangsa. Sejak era pergerakan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan perubahan. Mereka adalah barometer moral dan intelektual masyarakat, yang tak gentar mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Kali ini, sorotan utama mereka tertuju pada sistem pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, yang dinilai mengalami disorientasi parah.

Akar Masalah: Mengapa Mahasiswa Kembali Bergerak?

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, mengapa gerakan ini kembali menguat? Bukankah sudah banyak janji reformasi pendidikan yang diutarakan pemerintah? Jawabannya terletak pada akumulasi masalah yang tak kunjung terselesaikan, bahkan cenderung memburuk. Beberapa akar masalah utama yang mendorong mahasiswa kembali ke jalan meliputi:

  1. Biaya Pendidikan yang Melambung Tinggi: Ini adalah isu paling mendesak dan kerap menjadi pemicu utama. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus naik tanpa diiringi transparansi alokasi dana, serta berbagai pungutan tak terduga lainnya, telah menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang mewah. Banyak mahasiswa dan keluarga mereka tercekik biaya, bahkan terpaksa putus kuliah. Mereka merasa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak, kini telah menjadi komoditas. Keterbatasan beasiswa dan proses seleksi yang tidak selalu adil semakin memperparah kondisi ini.

  2. Kualitas Pendidikan yang Stagnan dan Kurang Relevan: Meskipun anggaran pendidikan terus digelontorkan, kualitas output lulusan kerap dipertanyakan. Kurikulum yang kaku, metode pengajaran yang masih konvensional, serta minimnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai di banyak kampus (terutama di daerah) menjadi keluhan umum. Kesenjangan antara materi perkuliahan dengan kebutuhan dunia kerja atau industri juga semakin lebar, membuat lulusan sulit bersaing atau menemukan pekerjaan yang relevan.

  3. Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Buruk: Isu korupsi, nepotisme, dan praktik birokrasi yang berbelit-belit dalam pengelolaan kampus dan institusi pendidikan tinggi menjadi sorotan. Mahasiswa menuntut transparansi dalam pengelolaan anggaran, proses pemilihan pimpinan kampus yang akuntabel, dan partisipasi yang lebih besar dari civitas akademika dalam pengambilan keputusan strategis. Mereka juga menyoroti adanya intervensi politik yang berlebihan dalam dunia akademik, yang mengancam otonomi dan kebebasan mimbar akademik.

  4. Kesejahteraan Mahasiswa dan Kebebasan Berpendapat yang Terancam: Banyak mahasiswa merasa hak-hak mereka sebagai warga kampus kurang terlindungi. Mulai dari fasilitas asrama yang tidak layak, layanan kesehatan yang minim, hingga ancaman terhadap kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Kasus-kasus represi terhadap mahasiswa yang kritis, baik dari internal kampus maupun pihak eksternal, seringkali menjadi bensin yang membakar semangat perlawanan. Mereka menuntut ruang aman untuk berdiskusi, berorganisasi, dan mengkritisi tanpa rasa takut.

  5. Disparitas Pendidikan yang Melebar: Akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan pedesaan, antara kampus negeri dan swasta, serta antara wilayah barat dan timur Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah besar. Mahasiswa menyerukan pemerataan fasilitas, kualitas pengajar, dan kesempatan yang sama bagi seluruh anak bangsa untuk mengenyam pendidikan terbaik, tanpa terkecuali.

Tuntutan Utama: Pilar-Pilar Reformasi Sistem Pendidikan

Dari berbagai keresahan tersebut, mahasiswa merumuskan sejumlah tuntutan konkret yang menjadi pilar utama reformasi sistem pendidikan yang mereka cita-citakan. Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan visi pendidikan yang lebih inklusif, berkualitas, dan berpihak pada rakyat:

  1. Pendidikan Gratis dan Berkeadilan: Mahasiswa menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem UKT, dengan tujuan jangka panjang menuju pendidikan tinggi gratis atau setidaknya sangat terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Mereka mendesak pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan secara signifikan, mengaudit keuangan kampus secara transparan, dan memperluas cakupan beasiswa yang benar-benar berdasarkan kebutuhan dan prestasi, bukan hanya formalitas.

  2. Kurikulum Progresif dan Relevan: Reformasi kurikulum menjadi krusial. Mahasiswa menghendaki kurikulum yang adaptif terhadap perubahan zaman, menekankan pada penalaran kritis, kreativitas, dan keterampilan praktis. Mereka menuntut keterlibatan aktif mahasiswa dan pakar industri dalam perumusan kurikulum, serta adanya program magang atau kerja sama industri yang terstruktur untuk mempersiapkan lulusan menghadapi tantangan global. Kebebasan akademik untuk mengeksplorasi berbagai disiplin ilmu dan perspektif juga harus dijamin.

  3. Tata Kelola Kampus yang Demokratis dan Akuntabel: Tuntutan ini meliputi transparansi penuh dalam pengelolaan dana, pemilihan pimpinan kampus yang demokratis dan bebas intervensi politik, serta pembentukan dewan mahasiswa atau senat mahasiswa yang memiliki kewenangan riil dalam menyuarakan aspirasi dan mengawasi kebijakan kampus. Mekanisme pengaduan yang efektif untuk kasus-kasus korupsi atau pelanggaran etika juga harus ada.

  4. Jaminan Kebebasan Akademik dan Hak Berpendapat: Mahasiswa menuntut perlindungan hukum bagi setiap civitas akademika untuk bebas berpendapat, berdiskusi, berorganisasi, dan melakukan kajian kritis tanpa takut represi atau sanksi. Pembatasan terhadap mimbar bebas, sensor terhadap karya ilmiah, atau intimidasi terhadap aktivis mahasiswa harus dihapuskan. Kampus harus menjadi ruang aman bagi pertukaran gagasan dan pengembangan intelektual.

  5. Pemerataan Akses dan Kualitas Pendidikan: Pemerintah didesak untuk fokus pada pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah-daerah terpencil, meningkatkan kualitas pengajar melalui pelatihan berkelanjutan, dan menyediakan beasiswa afirmasi bagi mahasiswa dari daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Ini adalah investasi jangka panjang untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan.

Strategi Perjuangan Mahasiswa: Dari Mimbar Bebas Hingga Media Sosial

Gerakan mahasiswa modern tidak hanya terbatas pada demonstrasi fisik di jalanan. Mereka juga memanfaatkan berbagai platform untuk menyuarakan tuntutan mereka. Mimbar bebas, audiensi dengan pihak rektorat atau pemerintah, petisi online, kajian-kajian ilmiah, diskusi publik, hingga kampanye masif melalui media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi perjuangan mereka.

Penggunaan media sosial memungkinkan pesan-pesan reformasi menyebar dengan cepat dan menjangkau khalayak yang lebih luas, termasuk masyarakat umum yang mungkin tidak terlibat langsung dalam aksi lapangan. Ini juga menjadi alat untuk mendokumentasikan pelanggaran, menggalang dukungan, dan memberikan tekanan publik kepada para pemangku kebijakan. Kekuatan kolektif yang terjalin antarberbagai organisasi mahasiswa dari lintas kampus dan daerah menjadi modal utama dalam gerakan ini.

Respon Pemerintah dan Tantangan ke Depan

Respon pemerintah terhadap gelombang protes ini akan sangat menentukan arah reformasi pendidikan di masa depan. Dialog yang tulus dan substansial, bukan sekadar basa-basi, adalah kunci. Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk mendengarkan, mengevaluasi, dan menindaklanjuti tuntutan mahasiswa dengan kebijakan yang konkret dan terukur. Mengabaikan atau bahkan merepresi gerakan ini hanya akan memperparah ketidakpercayaan dan memicu gelombang protes yang lebih besar.

Tantangan ke depan tidaklah mudah. Perubahan sistemik membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen dari semua pihak. Mahasiswa harus mampu menjaga konsistensi dan soliditas gerakan mereka, merumuskan tuntutan yang realistis namun tetap progresif, serta membangun aliansi dengan elemen masyarakat lainnya. Sementara itu, pemerintah dan pihak rektorat harus membuka diri terhadap kritik, berani melakukan introspeksi, dan menjadikan momentum ini sebagai kesempatan emas untuk benar-benar mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik bagi generasi penerus bangsa.

Kesimpulan

Ketika mahasiswa kembali turun ke jalan tuntut reformasi sistem pendidikan, ini adalah sinyal darurat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pilar penting pembangunan bangsa ini. Gerakan ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan panggilan nurani untuk menyelamatkan masa depan pendidikan Indonesia. Dengan semangat idealisme, keberanian, dan daya kritisnya, mahasiswa sekali lagi membuktikan diri sebagai agen perubahan yang tak tergantikan.

Reformasi sistem pendidikan bukanlah tanggung jawab satu pihak saja, melainkan tugas kolektif seluruh elemen bangsa. Pemerintah, DPR, civitas akademika, orang tua, masyarakat, hingga industri, harus bersatu padu, berdialog, dan bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya berkualitas dan relevan, tetapi juga adil, merata, dan mampu menghasilkan generasi penerus yang cerdas, berintegritas, dan berdaya saing global. Masa depan Indonesia ada di tangan mereka, dan suara mereka di jalanan adalah harapan bagi perubahan yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *