Narasi Dua Sisi: Operasi Penertiban PKL dalam Pusaran Debat Publik
Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang tak pernah tidur, Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan urban. Mereka menjajakan beragam barang, mulai dari kuliner lezat yang menggoda selera, pakaian trendi, hingga kebutuhan sehari-hari yang terjangkau. Kehadiran mereka tak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa yang murah dan mudah diakses, tetapi juga membentuk lanskap sosial dan budaya kota yang khas. Namun, di balik vitalitas ekonomi informal ini, PKL seringkali berhadapan dengan dilema tata ruang kota dan ketertiban umum. Konflik antara kebutuhan PKL untuk mencari nafkah dan upaya pemerintah daerah untuk menciptakan kota yang rapi, bersih, dan tertib seringkali berujut pada operasi penertiban.
Operasi penertiban PKL, sebuah langkah yang rutin dilakukan oleh aparat pemerintah, adalah kebijakan yang selalu menuai pro dan kontra. Di satu sisi, operasi ini dianggap sebagai upaya vital untuk menegakkan aturan, menjaga keindahan kota, kelancaran lalu lintas, dan memberikan keadilan bagi pelaku usaha formal. Di sisi lain, tindakan ini sering dipandang sebagai kebijakan yang tidak manusiawi, merampas hak ekonomi rakyat kecil, dan gagal memberikan solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Artikel ini akan mengupas tuntas narasi dua sisi dari operasi penertiban PKL, mengeksplorasi argumen dari kedua belah pihak, serta mencari titik temu untuk solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Fenomena PKL: Antara Kebutuhan dan Tantangan Urban
Pedagang Kaki Lima, atau PKL, adalah individu atau kelompok yang menjual barang atau jasa di ruang publik seperti trotoar, pinggir jalan, taman, atau area terbuka lainnya tanpa izin resmi atau dengan izin yang terbatas. Kehadiran mereka bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan juga cerminan kompleksitas sosial perkotaan. Bagi sebagian besar PKL, berjualan adalah satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke pekerjaan formal atau modal besar untuk memulai usaha. Mereka mengisi ceruk pasar dengan menyediakan barang dan jasa yang terjangkau bagi lapisan masyarakat menengah ke bawah, sekaligus menciptakan lapangan kerja informal bagi banyak orang.
Namun, di balik kontribusi ekonomi dan sosialnya, keberadaan PKL juga menimbulkan berbagai tantangan bagi pemerintah kota. Penempatan lapak yang semrawut seringkali mengganggu arus lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki, merusak estetika kota, serta menimbulkan masalah kebersihan dan sanitasi. Persaingan yang tidak adil dengan toko-toko formal yang membayar pajak dan sewa juga menjadi keluhan yang sering disuarakan. Inilah yang menjadi dasar argumen bagi pihak yang mendukung operasi penertiban.
Perspektif Pro Penertiban: Demi Ketertiban dan Keadilan Kota
Pihak yang mendukung operasi penertiban PKL umumnya berargumen dari sudut pandang tata kota, ketertiban umum, dan keadilan usaha. Argumen-argumen utama mereka meliputi:
-
Ketertiban dan Estetika Kota:
Kota adalah wajah sebuah peradaban, dan ketertiban adalah salah satu indikatornya. Keberadaan PKL yang tidak tertata rapi di trotoar atau bahu jalan seringkali menciptakan kesan semrawut, kotor, dan tidak teratur. Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki seringkali berubah fungsi menjadi lapak dagang, memaksa pejalan kaki berjalan di badan jalan yang berbahaya. Penertiban dianggap penting untuk mengembalikan fungsi ruang publik sesuai peruntukannya, menjaga keindahan kota, dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi seluruh warga, termasuk wisatawan. Estetika kota juga berpengaruh pada investasi dan citra daerah di mata internasional. -
Kelancaran Lalu Lintas dan Aksesibilitas:
Kemacetan lalu lintas adalah masalah klasik di kota-kota besar. Salah satu penyebabnya adalah penyempitan jalan atau terganggunya arus kendaraan akibat lapak PKL yang menjorok ke jalan atau parkir kendaraan pembeli. Selain itu, PKL yang berjualan di trotoar menghalangi akses pejalan kaki, pengguna kursi roda, atau orang tua, memaksa mereka untuk menggunakan badan jalan yang membahayakan keselamatan. Operasi penertiban bertujuan untuk mengurai kemacetan, melancarkan arus lalu lintas, dan memastikan hak aksesibilitas publik terpenuhi. -
Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan:
Tidak sedikit PKL yang kurang memperhatikan aspek kebersihan dan sanitasi. Sampah sisa dagangan, limbah makanan, atau air bekas cucian yang dibuang sembarangan dapat mencemari lingkungan, menyumbat saluran air, dan menjadi sarang penyakit. Terutama bagi PKL makanan, standar kebersihan yang rendah dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi konsumen. Penertiban, dalam konteks ini, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan melindungi kesehatan masyarakat. -
Keadilan Usaha dan Pajak:
Pelaku usaha formal, seperti toko atau restoran, wajib membayar sewa tempat, pajak, retribusi, dan memenuhi berbagai perizinan yang ketat. Sementara itu, banyak PKL beroperasi tanpa izin, tidak membayar pajak, dan tidak menanggung biaya operasional sebesar usaha formal. Kondisi ini menciptakan persaingan yang tidak sehat dan dianggap tidak adil. Pemerintah berpendapat bahwa penertiban adalah langkah untuk menciptakan level playing field yang lebih setara dalam dunia usaha dan memastikan penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi. -
Penegakan Aturan dan Wibawa Pemerintah:
Setiap kota memiliki peraturan daerah (Perda) tentang ketertiban umum dan penggunaan ruang publik. Jika aturan-aturan ini tidak ditegakkan, maka akan menciptakan preseden buruk dan berpotensi menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Operasi penertiban dianggap sebagai bentuk penegakan hukum dan menjaga wibawa pemerintah dalam mengatur tatanan kota. Membiarkan pelanggaran secara terus-menerus sama dengan membiarkan anarki di ruang publik.
Perspektif Kontra Penertiban: Hak Ekonomi dan Solusi Humanis
Di sisi lain, pihak yang menentang operasi penertiban berargumen dari sudut pandang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Mereka mengkritik pendekatan represif dan menuntut solusi yang lebih humanis dan berkelanjutan:
-
Hak Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat Kecil:
Bagi sebagian besar PKL, berjualan adalah satu-satunya sumber penghidupan untuk diri sendiri dan keluarga. Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, seringkali tanpa pendidikan tinggi atau keterampilan khusus yang dibutuhkan di sektor formal. Operasi penertiban yang berujung pada penggusuran tanpa solusi alternatif yang layak berarti merampas hak mereka untuk mencari nafkah dan mendorong mereka ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Ini bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan yang menjamin hak warga negara untuk hidup layak. -
Kontribusi Ekonomi Informal:
Meskipun informal, sektor PKL memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal. Mereka menyediakan barang dan jasa dengan harga terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menggerakkan roda perekonomian lokal dengan membeli bahan baku dari produsen kecil, serta menyerap tenaga kerja. Penggusuran PKL secara massal dapat menciptakan efek domino negatif, mengurangi daya beli masyarakat, dan memperlambat perputaran uang di tingkat akar rumput. -
Aspek Sosial dan Budaya Kota:
PKL seringkali menjadi bagian integral dari identitas sosial dan budaya suatu kota. Mereka menciptakan atmosfer yang hidup, menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi sosial, serta melestarikan kuliner tradisional atau kerajinan lokal. Kehilangan PKL dapat menghilangkan kekhasan dan "roh" kota, menggantinya dengan ruang publik yang steril dan kurang manusiawi. Mereka adalah penjaga tradisi dan inovasi lokal yang bergerak secara spontan. -
Kurangnya Solusi Alternatif yang Komprehensif:
Kritik utama terhadap operasi penertiban adalah bahwa pemerintah seringkali hanya fokus pada penggusuran tanpa menyediakan solusi alternatif yang memadai. Jika ada relokasi, tempat yang disediakan seringkali tidak strategis, sepi pembeli, atau memberlakukan biaya sewa yang terlalu tinggi, sehingga memberatkan PKL. Pendekatan yang hanya mengandalkan kekuatan represif tanpa disertai program pemberdayaan, pelatihan, atau akses modal, tidak akan menyelesaikan masalah, melainkan hanya memindahkannya. -
Pendekatan Humanis vs. Represif:
Operasi penertiban seringkali diwarnai dengan adegan kekerasan, perampasan barang dagangan, dan trauma psikologis bagi PKL. Pendekatan represif semacam ini dianggap tidak manusiawi dan melanggar hak asasi. Pihak kontra menyerukan pendekatan yang lebih dialogis, partisipatif, dan humanis, di mana PKL dilibatkan dalam proses perencanaan dan pencarian solusi, bukan sekadar menjadi objek penertiban. Trauma akibat penggusuran dapat meninggalkan luka mendalam dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Mencari Titik Temu: Solusi Berkelanjutan dan Inklusif
Konflik antara ketertiban kota dan hak PKL untuk mencari nafkah bukanlah dilema yang mudah dipecahkan. Namun, mencari titik temu adalah sebuah keniscayaan demi terciptanya kota yang maju sekaligus berkeadilan. Beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan untuk menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan dan inklusif meliputi:
-
Dialog dan Partisipasi Aktif:
Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang tulus dengan perwakilan PKL, mendengarkan aspirasi dan tantangan yang mereka hadapi. Melibatkan PKL dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait penataan ruang akan menumbuhkan rasa memiliki dan mengurangi resistensi. -
Penataan Zona Khusus yang Strategis:
Alih-alih menggusur secara total, pemerintah dapat mengidentifikasi dan menata zona-zona khusus untuk PKL yang strategis, mudah diakses, dan memiliki potensi pembeli. Zona ini harus dilengkapi dengan fasilitas dasar seperti sanitasi, air bersih, listrik, dan pengelolaan sampah yang memadai. Lokasi harus dipertimbangkan secara matang agar PKL tetap dapat berdagang dengan layak. -
Pembinaan dan Pemberdayaan PKL:
Pemerintah dapat menyelenggarakan program pembinaan dan pemberdayaan bagi PKL, meliputi pelatihan manajemen usaha, literasi keuangan, standar kebersihan dan keamanan pangan, serta inovasi produk. Pemberian akses modal usaha mikro juga dapat membantu PKL meningkatkan kualitas dan skala usaha mereka. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kemandirian ekonomi. -
Regulasi yang Jelas dan Konsisten:
Peraturan daerah yang mengatur PKL harus jelas, transparan, dan konsisten dalam penerapannya. Regulasi harus mencakup zonasi, jam operasional, standar kebersihan, dan mekanisme perizinan yang mudah diakses dan tidak membebani PKL. Penegakan aturan harus dilakukan secara adil tanpa tebang pilih. -
Pendekatan Multi-Sektor dan Kolaboratif:
Masalah PKL tidak bisa hanya ditangani oleh satu dinas saja. Diperlukan pendekatan multi-sektor yang melibatkan dinas tata kota, dinas perdagangan, dinas sosial, dinas kesehatan, serta pihak kepolisian dan Satpol PP. Kolaborasi dengan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas PKL juga sangat penting untuk menemukan solusi inovatif.
Kesimpulan
Operasi penertiban PKL adalah manifestasi dari kompleksitas permasalahan urban yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari tata ruang, ekonomi, sosial, hingga politik. Debat pro dan kontra yang menyertainya menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal yang mudah atau instan. Di satu sisi, kebutuhan akan ketertiban, kebersihan, dan keindahan kota adalah hak bagi seluruh warga. Di sisi lain, hak untuk mencari nafkah dan bertahan hidup bagi PKL adalah fondasi keadilan sosial yang tidak boleh diabaikan.
Menciptakan kota yang modern, tertib, namun sekaligus humanis dan berkeadilan adalah tantangan besar. Pendekatan represif tanpa solusi komprehensif hanya akan memicu konflik berulang. Sebaliknya, pendekatan yang mengedepankan dialog, partisipasi, pemberdayaan, dan penataan yang strategis akan membuka jalan bagi solusi yang berkelanjutan. Indonesia, dengan semangat gotong royong dan Pancasila, seyogianya mampu merumuskan kebijakan PKL yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan kota dan kesejahteraan rakyat kecil, mewujudkan kota yang ramah bagi semua penghuninya, baik yang formal maupun informal.
