Peran Indonesia dalam Kesepakatan Paris Agreement

Peran Krusial Indonesia dalam Kesepakatan Paris Agreement: Ambisi, Tantangan, dan Kontribusi Global

Perubahan iklim adalah ancaman eksistensial bagi planet kita, dan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang diadopsi pada tahun 2015 menjadi tonggak sejarah dalam upaya global untuk mengatasinya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan kekayaan biodiversitas dan hutan tropis yang melimpah, sekaligus salah satu negara dengan emisi gas rumah kaca (GRK) signifikan, Indonesia memegang peran yang sangat krusial dalam keberhasilan implementasi Kesepakatan Paris. Artikel ini akan mengulas secara mendalam peran Indonesia, mulai dari komitmen, peningkatan ambisi, tantangan yang dihadapi, hingga kontribusinya dalam forum global.

Konteks Global: Urgensi Kesepakatan Paris

Kesepakatan Paris adalah kerangka kerja hukum internasional yang mengikat, yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dengan upaya untuk membatasinya hingga 1,5 derajat Celsius. Kesepakatan ini memperkenalkan konsep Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions – NDC), di mana setiap negara secara sukarela menetapkan target pengurangan emisinya sendiri. Ini menandai pergeseran paradigma dari pendekatan "top-down" ke "bottom-up," mengakui prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (Common But Differentiated Responsibilities – CBDR) sesuai dengan kapasitas dan kondisi nasional masing-masing negara.

Bagi Indonesia, Kesepakatan Paris bukan sekadar kewajiban diplomatik, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim—mulai dari kenaikan permukaan air laut, intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi, hingga ancaman terhadap ketahanan pangan dan air—Indonesia memiliki kepentingan langsung untuk menjadi bagian aktif dari solusi iklim global.

Indonesia: Negara Kunci dalam Diskursus Iklim Global

Posisi Indonesia sangat unik dan strategis dalam peta iklim global. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan. Ribuan pulau, garis pantai yang panjang, dan jutaan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir terpapar langsung risiko kenaikan permukaan laut dan abrasi. Kedua, Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia dan lahan gambut yang luas, menjadikannya paru-paru dunia sekaligus penyimpan karbon raksasa. Namun, deforestasi, degradasi lahan, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menjadikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sebagai kontributor emisi GRK terbesar di masa lalu. Ketiga, sebagai anggota G20, Indonesia memiliki bobot ekonomi dan politik yang signifikan, memberikan pengaruh dalam mendorong agenda ikaksi iklim di tingkat global dan regional.

Komitmen Indonesia terhadap Kesepakatan Paris berakar pada kesadaran akan kerentanan ini dan potensi besar untuk berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi.

Komitmen Awal Indonesia dalam Paris Agreement

Indonesia adalah salah satu negara pertama yang meratifikasi Kesepakatan Paris pada tahun 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Tindakan ini menunjukkan komitmen politik yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk mengambil bagian dalam upaya global mengatasi perubahan iklim.

Dalam NDC pertamanya, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% secara unconditional (dengan kemampuan sendiri) dan 41% secara conditional (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario business as usual (BAU). Target ini mencakup lima sektor utama:

  1. Kehutanan dan Lahan (FOLU): Penekanan pada pengurangan deforestasi, pencegahan degradasi hutan, restorasi gambut, dan pengelolaan hutan berkelanjutan.
  2. Energi: Peningkatan penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, dan konservasi energi.
  3. Limbah: Pengelolaan limbah yang lebih baik, termasuk daur ulang dan produksi biogas.
  4. Industri: Peningkatan efisiensi energi dan penggunaan teknologi rendah karbon.
  5. Pertanian: Praktik pertanian berkelanjutan dan rendah emisi.

Selain mitigasi, NDC awal Indonesia juga mencakup komponen adaptasi, yang menekankan pada penguatan ketahanan masyarakat dan ekosistem terhadap dampak perubahan iklim. Ini mencakup pengembangan sistem peringatan dini, pengelolaan risiko bencana, dan peningkatan kapasitas adaptif di berbagai sektor.

Peningkatan Ambisi dan Pembaruan NDC

Seiring dengan urgensi ilmiah yang semakin meningkat dan seruan global untuk ambisi yang lebih tinggi, Indonesia telah secara progresif meningkatkan komitmen iklimnya. Pada tahun 2022, Indonesia menyampaikan Enhanced NDC (E-NDC) kepada UNFCCC, yang merefleksikan ambisi yang lebih tinggi:

  • Target Mitigasi yang Ditingkatkan: Target pengurangan emisi GRK ditingkatkan menjadi 31,89% secara unconditional dan 43,2% secara conditional pada tahun 2030. Peningkatan ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon.
  • Target FOLU Net Sink 2030: Salah satu ambisi paling menonjol adalah target mencapai "FOLU Net Sink 2030," yang berarti bahwa pada tahun 2030, sektor kehutanan dan penggunaan lahan di Indonesia akan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan. Ini dicapai melalui kombinasi pencegahan deforestasi dan degradasi, rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi gambut, serta pengelolaan hutan yang intensif. Target ini sangat ambisius dan menjadi tulang punggung strategi mitigasi Indonesia.
  • Transisi Energi: Komitmen untuk mempercepat transisi energi, termasuk pengembangan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, surya, dan angin. Indonesia juga mulai memetakan jalan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
  • Adaptasi yang Lebih Komprehensif: E-NDC juga memperkuat dimensi adaptasi, dengan memasukkan sektor-sektor kunci seperti kesehatan, perikanan, kelautan, dan pariwisata, serta menekankan pada solusi berbasis ekosistem dan penguatan kapasitas lokal.

Peningkatan ambisi ini bukan tanpa dasar. Berbagai kebijakan domestik telah digulirkan, seperti moratorium izin baru pada lahan gambut dan hutan primer, penguatan penegakan hukum terhadap pelaku karhutla, dan pengembangan pasar karbon.

Tantangan dan Peluang dalam Implementasi

Meskipun komitmen Indonesia kuat, implementasi Kesepakatan Paris dihadapkan pada sejumlah tantangan signifikan:

  1. Pendanaan Iklim: Implementasi NDC membutuhkan investasi besar. Diperkirakan Indonesia membutuhkan triliunan rupiah untuk mencapai targetnya, yang sebagian besar masih bergantung pada sumber daya domestik. Mobilisasi pendanaan internasional, baik melalui pinjaman konsesional, hibah, maupun investasi hijau, sangat krusial untuk mengisi kesenjangan ini.
  2. Transfer Teknologi: Untuk beralih ke teknologi rendah karbon dan meningkatkan efisiensi, Indonesia membutuhkan akses ke teknologi mutakhir, khususnya di sektor energi dan industri. Transfer teknologi yang adil dan terjangkau dari negara maju adalah kunci.
  3. Koordinasi Lintas Sektor: Aksi iklim melibatkan banyak kementerian, lembaga, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Membangun koordinasi yang efektif dan sinergi antarpihak adalah tantangan yang berkelanjutan.
  4. Keseimbangan Pembangunan dan Iklim: Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi tantangan pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Menemukan keseimbangan antara tujuan pembangunan ini dengan target iklim adalah tugas yang kompleks.
  5. Kapasitas Sumber Daya Manusia: Peningkatan kapasitas sumber daya manusia di berbagai tingkatan, dari pembuat kebijakan hingga praktisi lapangan, sangat diperlukan untuk merancang dan mengimplementasikan solusi iklim yang efektif.

Namun, tantangan ini juga membuka peluang besar:

  1. Transformasi Ekonomi Hijau: Aksi iklim dapat mendorong inovasi, menciptakan lapangan kerja hijau baru, dan meningkatkan daya saing ekonomi melalui praktik bisnis yang lebih berkelanjutan.
  2. Investasi Hijau: Komitmen iklim yang kuat menarik investasi hijau dari sektor swasta dan lembaga keuangan internasional, yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
  3. Penguatan Tata Kelola Lingkungan: Upaya mitigasi dan adaptasi iklim secara langsung berkontribusi pada perbaikan tata kelola lingkungan secara keseluruhan, termasuk penegakan hukum dan partisipasi masyarakat.
  4. Kepemimpinan Regional dan Global: Dengan menunjukkan keberhasilan dalam aksi iklim, Indonesia dapat memperkuat kepemimpinannya di kawasan Asia Tenggara dan di forum internasional.

Peran Indonesia di Forum Internasional

Indonesia tidak hanya aktif di dalam negeri, tetapi juga memainkan peran proaktif di panggung global:

  • Presidensi G20 2022: Selama Presidensi G20, Indonesia menempatkan transisi energi dan keberlanjutan sebagai salah satu agenda prioritas. Deklarasi Pemimpin G20 Bali mengakui urgensi transisi energi yang adil dan terjangkau, serta kebutuhan akan pendanaan iklim. Indonesia juga meluncurkan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bertujuan untuk membantu membiayai transisi energi Indonesia.
  • ASEAN: Indonesia secara konsisten mendorong agenda iklim dalam kerangka ASEAN, mempromosikan kerja sama regional dalam adaptasi, mitigasi, dan konservasi biodiversitas.
  • UNFCCC COPs: Indonesia adalah peserta aktif dalam Konferensi Para Pihak (COP) UNFCCC, menyuarakan kepentingan negara berkembang, menegaskan pentingnya pendanaan iklim, dan mendorong kemajuan dalam negosiasi iklim global.
  • Kerja Sama Selatan-Selatan: Indonesia juga berperan sebagai fasilitator dan penerima manfaat dalam kerja sama Selatan-Selatan, berbagi pengalaman dan belajar dari negara berkembang lainnya dalam menghadapi tantangan iklim.

Masa Depan dan Jalan ke Depan

Indonesia telah menyusun Dokumen Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 – LTS-LCCR 2050) sebagai panduan menuju target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dokumen ini menguraikan visi jangka panjang untuk dekarbonisasi di berbagai sektor dan strategi untuk membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai tujuan ini, Indonesia perlu terus:

  • Mengembangkan kebijakan yang lebih kuat dan implementatif.
  • Mempercepat investasi dalam energi terbarukan dan teknologi hijau.
  • Mengoptimalkan potensi penyerapan karbon dari sektor FOLU.
  • Membangun kapasitas adaptasi masyarakat dan infrastruktur.
  • Memobilisasi pendanaan iklim dari berbagai sumber, baik domestik maupun internasional.
  • Meningkatkan kesadaran dan partisipasi publik dalam aksi iklim.

Kesimpulan

Peran Indonesia dalam Kesepakatan Paris Agreement adalah cerminan dari kompleksitas dan urgensi krisis iklim. Sebagai negara yang rentan namun memiliki potensi mitigasi yang besar, Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat melalui ratifikasi, NDC yang ambisius, dan kepemimpinan di forum internasional. Meskipun tantangan seperti pendanaan dan transfer teknologi masih membayangi, peluang untuk mentransformasi ekonomi menuju jalur yang lebih hijau dan berkelanjutan sangat terbuka lebar. Keberhasilan Indonesia dalam memenuhi target iklimnya tidak hanya akan melindungi rakyat dan kekayaan alamnya, tetapi juga akan memberikan kontribusi signifikan bagi upaya global untuk menjaga suhu bumi tetap terkendali, membuktikan bahwa pembangunan dan perlindungan iklim dapat berjalan beriringan demi masa depan yang lebih baik.

Exit mobile version