Berita  

Perkembangan Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia

Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Perkembangan Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia

Pendahuluan: Urgensi Transisi Energi Global dan Posisi Indonesia

Perubahan iklim global dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi karbon telah menempatkan energi terbarukan (EBT) di garis depan agenda pembangunan nasional dan internasional. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar dengan potensi sumber daya EBT yang melimpah—mulai dari surya, hidro, panas bumi, biomassa, angin, hingga arus laut—memiliki peran krusial dalam transisi energi ini. Namun, perjalanan menuju bauran energi yang didominasi EBT di Indonesia tidaklah mulus, diwarnai oleh berbagai kebijakan yang dinamis, tantangan, dan peluang. Artikel ini akan mengulas perkembangan kebijakan EBT di Indonesia, menganalisis tantangan yang dihadapi, serta menyoroti prospek masa depan.

Komitmen Indonesia terhadap target pengurangan emisi karbon sebesar 29% (dengan upaya sendiri) dan 41% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030, serta target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, menegaskan urgensi untuk mengakselerasi pengembangan EBT. Kebijakan energi nasional telah secara eksplisit menargetkan porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi primer pada tahun 2025. Angka ini menjadi tolok ukur utama bagi keberhasilan kebijakan energi terbarukan di tanah air.

Lanskap Awal: Fondasi Kebijakan dan Tantangan Awal (Pra-2010an)

Sejarah kebijakan EBT di Indonesia dapat ditelusuri sejak era Orde Baru, meskipun fokus utamanya masih pada energi fosil. Pengembangan energi terbarukan pada awalnya didominasi oleh proyek-proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang diinisiasi oleh PT PLN (Persero) atau melalui kerja sama dengan investor asing. Regulasi yang secara spesifik mendorong EBT masih terbatas dan cenderung sektoral.

Tonggak penting hadir dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. UU ini mengamanatkan diversifikasi energi dan peningkatan pemanfaatan EBT, memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pengembangan sektor ini. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menjadi acuan utama, menetapkan target ambisius 23% EBT pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. KEN juga menggarisbawahi pentingnya konservasi energi dan pemanfaatan EBT secara optimal.

Meskipun fondasi hukum telah diletakkan, implementasi di lapangan menghadapi berbagai kendala. Salah satu yang paling menonjol adalah masalah harga. Mekanisme harga beli listrik EBT dari pengembang swasta (Independent Power Producer/IPP) oleh PLN seringkali tidak menarik secara ekonomi. Skema Feed-in Tariff (FIT) yang diperkenalkan pada awal 2010-an melalui berbagai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) seringkali dianggap terlalu rendah atau terlalu rumit, sehingga kurang mampu menarik investasi besar.

Era Dinamis: Fluktuasi Kebijakan dan Upaya Akselerasi (2015-2020)

Periode pertengahan 2010-an hingga akhir dekade ini menjadi era yang sangat dinamis bagi kebijakan EBT. Pemerintah berupaya keras untuk menemukan formula yang tepat guna mengakselerasi investasi dan pengembangan. Berbagai Permen ESDM terkait harga EBT diterbitkan dan direvisi secara berkala, mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan investor, PLN, dan konsumen.

Beberapa kebijakan penting pada periode ini meliputi:

  1. Harga Patokan Tertinggi (HPT) dan Harga Berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) Listrik: Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 dan revisinya menjadi Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 memperkenalkan mekanisme harga berdasarkan BPP listrik setempat atau harga patokan tertinggi, dengan tujuan untuk menekan biaya beli listrik EBT agar tidak membebani PLN dan konsumen. Namun, kebijakan ini seringkali dikritik karena membuat harga EBT menjadi kurang kompetitif dibandingkan harga listrik dari pembangkit fosil, terutama di wilayah dengan BPP rendah.
  2. Pemanfaatan Energi Surya Atap (Rooftop Solar): Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 (yang kemudian direvisi oleh Permen ESDM No. 26 Tahun 2021) menjadi langkah maju untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan energi surya melalui sistem net-metering. Kebijakan ini memungkinkan pelanggan PLN yang memasang panel surya atap untuk mengekspor kelebihan listrik ke jaringan PLN dan mengompensasinya dengan tagihan listrik mereka. Meskipun demikian, rasio kompensasi yang ditetapkan (awalnya 65%, kemudian 100% pada revisi) masih menjadi bahan diskusi antara pemerintah, PLN, dan konsumen.
  3. Pengembangan Panas Bumi: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menegaskan bahwa panas bumi bukan lagi kegiatan pertambangan, melainkan pemanfaatan energi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan perizinan dan investasi di sektor panas bumi yang memang memiliki potensi besar di Indonesia.
  4. Mandatori Biodiesel: Program mandatori pencampuran biodiesel ke dalam bahan bakar solar (B20, B30, dan kini B35) menjadi salah satu program EBT yang paling masif dan berdampak signifikan dalam mengurangi impor minyak mentah. Meskipun ada perdebatan mengenai keberlanjutan dan dampaknya terhadap lahan, program ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memanfaatkan biomassa.

Meskipun berbagai kebijakan telah diluncurkan, tantangan utama tetap berkisar pada aspek pembiayaan dan kepastian regulasi. Investor EBT membutuhkan kepastian hukum dan harga yang menarik dalam jangka panjang untuk mengembalikan modal investasi yang besar. Seringnya perubahan kebijakan justru menciptakan ketidakpastian yang menghambat investasi.

Era Modern: Konsolidasi Kebijakan dan Harapan Baru (2021-Sekarang)

Memasuki tahun 2020-an, kesadaran akan urgensi transisi energi semakin menguat, diperkuat oleh komitmen iklim global dan tekanan dari berbagai pihak. Pemerintah Indonesia mulai menunjukkan upaya konsolidasi kebijakan dan eksplorasi mekanisme baru.

  1. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT): Ini adalah inisiatif kebijakan paling krusial yang diharapkan dapat menjadi payung hukum komprehensif untuk seluruh sektor EBT. RUU ini telah dibahas sejak lama dan diharapkan dapat mengatasi fragmented regulation, memberikan kepastian investasi, dan menetapkan kerangka harga yang lebih stabil dan menarik. Poin-poin penting yang diharapkan dari RUU ini antara lain skema harga EBT yang adil, insentif fiskal dan non-fiskal yang jelas, serta pengaturan mengenai energi hidrogen, amonia, dan baterai.
  2. Mekanisme Perdagangan Karbon: Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang memperkenalkan pajak karbon, serta Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Indonesia mulai bergerak menuju implementasi mekanisme perdagangan karbon. Hal ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi proyek-proyek EBT dan mendorong pengurangan emisi.
  3. Just Energy Transition Partnership (JETP): Inisiatif JETP senilai USD 20 miliar, yang diluncurkan pada KTT G20 Bali tahun 2022, merupakan bentuk kolaborasi internasional yang signifikan. Melalui JETP, Indonesia akan mendapatkan dukungan finansial dan teknis untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan mengembangkan EBT. Ini menandakan pengakuan global terhadap potensi dan komitmen Indonesia dalam transisi energi.
  4. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN: RUPTL, sebagai dokumen perencanaan PLN, semakin menunjukkan pergeseran ke arah EBT. RUPTL 2021-2030 menargetkan penambahan kapasitas EBT sebesar 20,9 GW, jauh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Ini adalah sinyal positif bahwa PLN mulai lebih serius dalam mengintegrasikan EBT ke dalam sistem kelistrikan nasional.
  5. Percepatan Pembangunan Infrastruktur EBT: Pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur pendukung EBT, termasuk transmisi, smart grid, dan fasilitas penyimpanan energi (battery energy storage system/BESS), untuk mengatasi masalah intermitensi dan stabilitas jaringan.

Tantangan Menuju Target EBT 23% dan NZE

Meskipun perkembangan kebijakan menunjukkan arah yang positif, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan besar dalam mencapai target EBT 23% pada 2025 dan NZE pada 2060:

  1. Harga dan Keekonomian Proyek: Mekanisme harga yang belum sepenuhnya menarik bagi investor masih menjadi ganjalan utama. Diperlukan skema harga yang stabil, transparan, dan kompetitif.
  2. Pembiayaan: Biaya investasi awal EBT yang tinggi memerlukan akses ke skema pembiayaan inovatif dan blended finance dari lembaga keuangan domestik maupun internasional.
  3. Intermitensi dan Stabilitas Jaringan: EBT seperti surya dan angin bersifat intermiten. Integrasi dalam skala besar memerlukan investasi pada smart grid dan teknologi penyimpanan energi yang mahal.
  4. Ketersediaan Lahan dan Perizinan: Akuisisi lahan dan proses perizinan yang kompleks masih menjadi hambatan, terutama untuk proyek skala besar.
  5. Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Teknologi: Peningkatan kapasitas SDM dan penguasaan teknologi EBT domestik masih perlu terus didorong.
  6. Ketergantungan pada Batu Bara: Dominasi PLTU batu bara dalam bauran energi Indonesia, ditambah dengan harga batu bara yang relatif murah, menjadi pesaing berat bagi EBT.

Prospek Masa Depan: Harapan dan Rekomendasi

Indonesia berada di persimpangan jalan krusial. Potensi EBT yang masif, komitmen iklim yang kuat, dan dukungan internasional melalui inisiatif seperti JETP, memberikan harapan besar untuk masa depan energi yang lebih hijau. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis yang lebih tegas:

  1. Pengesahan RUU EBT yang Komprehensif: RUU EBT harus segera disahkan dengan ketentuan yang kuat mengenai harga, insentif, dan tata kelola yang jelas untuk menciptakan kepastian investasi jangka panjang.
  2. Mekanisme Harga yang Menarik: Pemerintah perlu menetapkan skema harga EBT yang adil dan menarik, mungkin melalui feed-in premium atau kontrak jangka panjang yang stabil, untuk mendorong investasi swasta.
  3. Penguatan Infrastruktur Jaringan: Investasi besar dalam transmisi, smart grid, dan teknologi penyimpanan energi sangat penting untuk menampung EBT skala besar dan menjaga stabilitas sistem.
  4. Pemanfaatan JETP Secara Optimal: Dana dan dukungan teknis dari JETP harus dimanfaatkan secara efektif untuk mempercepat pensiun dini PLTU dan pengembangan proyek-proyek EBT baru.
  5. Sinergi Antar-Kementerian dan Lembaga: Koordinasi yang lebih baik antar-kementerian dan lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah, diperlukan untuk menyelaraskan kebijakan dan mempercepat implementasi.
  6. Pengembangan Industri EBT Domestik: Mendorong local content dan industri EBT di dalam negeri akan menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan pada teknologi impor.

Kesimpulan

Perjalanan kebijakan energi terbarukan di Indonesia adalah narasi tentang ambisi besar yang dihadapkan pada realitas kompleks. Dari fondasi hukum awal hingga upaya akselerasi yang dinamis dan inisiatif global, Indonesia terus mencari formula terbaik untuk beralih dari energi fosil ke EBT. Tantangan seperti harga, pembiayaan, dan infrastruktur memang signifikan, tetapi potensi EBT yang luar biasa dan komitmen global yang terus meningkat menawarkan peluang besar. Dengan kebijakan yang konsisten, dukungan investasi yang kuat, dan kemauan politik yang teguh, Indonesia dapat membangun masa depan energi yang lebih bersih, berkelanjutan, dan berketahanan untuk generasi mendatang.

Exit mobile version