Politik agraria

Politik Agraria: Perebutan Tanah, Kekuasaan, dan Keadilan dalam Pusaran Pembangunan

Pendahuluan

Tanah, bagi sebagian besar masyarakat di dunia, bukan sekadar komoditas ekonomi. Ia adalah sumber kehidupan, identitas budaya, warisan leluhur, dan fondasi bagi kedaulatan pangan. Namun, di balik narasi idealis ini, tanah juga merupakan arena pertarungan kepentingan yang kompleks dan seringkali sengit. Inilah yang menjadi esensi dari politik agraria: sebuah medan analisis yang mengkaji bagaimana tanah didistribusikan, diakses, dikelola, dan dikontrol, serta bagaimana dinamika kekuasaan membentuk hubungan antara manusia dengan tanah dan antarmanusia itu sendiri. Politik agraria adalah cerminan dari struktur sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa, yang mengungkap ketegangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Di Indonesia, politik agraria memiliki sejarah yang panjang dan berliku, diwarnai oleh warisan kolonial, cita-cita kemerdekaan, gejolak pembangunan, dan tantangan kontemporer. Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi-dimensi kunci dalam politik agraria, mulai dari akar sejarah dan filosofisnya, aktor-aktor yang terlibat, tantangan yang dihadapi, hingga prospek menuju reforma agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan.

I. Akar Sejarah dan Filosofis Politik Agraria di Indonesia

Memahami politik agraria di Indonesia tak bisa dilepaskan dari konteks sejarahnya. Sebelum kedatangan kolonial, sistem penguasaan tanah di Nusantara umumnya bersifat komunal atau berbasis adat, di mana tanah dipandang sebagai milik bersama yang dikelola untuk kepentingan komunitas, bukan sebagai objek kepemilikan individu yang mutlak. Hubungan spiritual dan budaya dengan tanah sangat kuat, terintegrasi dalam praktik-praktik pertanian dan ritual adat.

Era kolonial Belanda mengubah lanskap agraria secara fundamental. Melalui berbagai kebijakan seperti domeinverklaring (pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara) dan sistem konsesi untuk perkebunan besar, tanah mulai dikomodifikasi dan menjadi instrumen eksploitasi ekonomi. Hak-hak komunal masyarakat adat tergerus, digantikan oleh hukum agraria Barat yang berorientasi pada kepemilikan privat dan kepentingan modal. Warisan kolonial ini meninggalkan jejak ketimpangan struktural yang mendalam, di mana sebagian besar tanah dikuasai oleh segelintir elite atau korporasi.

Pasca-kemerdekaan, cita-cita reforma agraria muncul sebagai salah satu agenda utama revolusi. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 adalah manifestasi dari cita-cita tersebut, yang mengamanatkan bahwa tanah harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berlandaskan prinsip keadilan sosial dan fungsi sosial tanah. UUPA 1960 mencoba mengakhiri warisan kolonial dan mewujudkan distribusi tanah yang lebih merata. Namun, implementasinya terhambat oleh gejolak politik, khususnya setelah peristiwa 1965.

Orde Baru, dengan fokus pada pembangunan ekonomi yang didorong oleh investasi dan industrialisasi, seringkali mengabaikan atau bahkan menindas hak-hak agraria rakyat. Pembangunan infrastruktur besar-besaran, ekspansi perkebunan skala besar (terutama kelapa sawit dan hutan tanaman industri), serta proyek-proyek pertambangan, seringkali dilakukan melalui penggusuran dan perampasan tanah tanpa ganti rugi yang adil atau pengakuan hak-hak masyarakat adat. Politik agraria Orde Baru cenderung sentralistik dan berpihak pada modal, memperlebar jurang ketimpangan dan memicu konflik agraria di berbagai daerah.

II. Dimensi Kunci dalam Politik Agraria

Politik agraria adalah spektrum luas yang mencakup beberapa dimensi krusial:

  1. Distribusi dan Akses Tanah: Ini adalah inti dari persoalan agraria. Bagaimana tanah didistribusikan secara adil? Siapa yang memiliki akses terhadap tanah produktif? Ketimpangan penguasaan tanah yang ekstrem, di mana segelintir pihak menguasai lahan yang luas sementara jutaan petani gurem atau tidak bertanah, adalah akar dari kemiskinan dan ketidakadilan. Politik agraria berupaya mengurai bagaimana kebijakan dan kekuatan pasar membentuk pola distribusi ini.

  2. Kekuasaan dan Hegemoni: Penguasaan tanah adalah manifestasi kekuasaan. Negara, melalui regulasi dan aparaturnya, memiliki kekuasaan besar dalam menentukan status dan penggunaan tanah. Namun, kekuasaan ini juga dipengaruhi oleh kepentingan korporasi besar yang memiliki modal dan akses politik. Pertarungan hegemoni antara negara, modal, dan rakyat dalam mengklaim dan mengontrol tanah adalah inti dari politik agraria. Ini mencakup lobi-lobi politik, pengaruh ekonomi, hingga penggunaan kekuatan fisik.

  3. Konflik Agraria: Ketidakadilan dalam distribusi dan penguasaan tanah seringkali berujung pada konflik. Konflik agraria adalah manifestasi nyata dari ketegangan politik agraria, yang melibatkan berbagai pihak seperti masyarakat adat, petani, perusahaan perkebunan, pertambangan, kehutanan, hingga aparat negara. Penyebabnya beragam, mulai dari tumpang tindih klaim lahan, perampasan tanah untuk proyek pembangunan, hingga sengketa batas wilayah. Konflik ini seringkali berdarah, memakan korban jiwa, dan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi yang besar.

  4. Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan: Penggunaan tanah memiliki dampak langsung pada lingkungan. Politik agraria juga mencakup bagaimana kebijakan agraria mempengaruhi deforestasi, degradasi lahan, kehilangan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Perkebunan monokultur skala besar, misalnya, seringkali dikaitkan dengan hilangnya hutan primer dan emisi gas rumah kaca. Di sisi lain, perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan tanahnya seringkali sekaligus menjadi perjuangan untuk menjaga kelestarian lingkungan.

  5. Kedaulatan Pangan: Akses terhadap tanah produktif adalah prasyarat fundamental bagi kedaulatan pangan, yaitu kemampuan suatu bangsa untuk memproduksi makanannya sendiri dan menentukan sistem pangannya. Ketika tanah-tanah pertanian dikonversi untuk industri atau permukiman, atau dikuasai oleh korporasi untuk tanaman ekspor, kedaulatan pangan bangsa terancam. Politik agraria yang berpihak pada petani kecil dan masyarakat lokal adalah kunci untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan.

III. Aktor dan Kepentingan dalam Politik Agraria

Politik agraria melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang seringkali bertabrakan:

  1. Pemerintah/Negara: Bertindak sebagai pembuat kebijakan, regulator, dan kadang juga sebagai pemain. Kepentingan negara seringkali ambigu: di satu sisi ingin mewujudkan keadilan agraria, di sisi lain terdorong untuk memacu investasi dan pembangunan yang terkadang mengorbankan hak-hak rakyat. Lembaga-lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta pemerintah daerah, memiliki peran sentral.

  2. Korporasi Besar: Perusahaan perkebunan, pertambangan, kehutanan, properti, dan infrastruktur adalah aktor kuat yang memiliki kepentingan ekonomi besar dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah. Mereka memiliki modal, jaringan politik, dan seringkali menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) atau konsesi lahan yang luas, kadang dengan cara-cara yang merugikan masyarakat lokal.

  3. Petani dan Masyarakat Adat: Mereka adalah pihak yang paling rentan namun juga paling gigih dalam memperjuangkan hak-hak agrarianya. Petani tradisional, petani gurem, buruh tani, dan masyarakat adat seringkali menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak atau praktik-praktik land grabbing. Mereka berjuang untuk pengakuan hak atas tanah ulayat, redistribusi lahan, dan perlindungan dari penggusuran.

  4. Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) dan Akademisi: Berperan sebagai advokat, peneliti, dan pengawas. ORNOP agraria aktif mendampingi masyarakat korban konflik, melakukan kampanye, dan mendorong kebijakan yang berpihak pada rakyat. Akademisi memberikan analisis kritis, data, dan rekomendasi kebijakan.

  5. Lembaga Internasional: Organisasi seperti Bank Dunia, IMF, atau lembaga donor bilateral, dapat memengaruhi kebijakan agraria suatu negara melalui pinjaman, bantuan teknis, atau rekomendasi kebijakan yang seringkali berorientasi pada pasar dan liberalisasi.

IV. Tantangan dan Dinamika Kontemporer

Politik agraria di Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks:

  1. Globalisasi dan Liberalisasi Ekonomi: Arus investasi global mendorong eksploitasi sumber daya alam secara masif. Tanah menjadi daya tarik utama bagi investor asing, khususnya untuk perkebunan monokultur, pertambangan, dan industri. Ini meningkatkan tekanan terhadap hak-hak agraria masyarakat lokal dan memicu konflik.

  2. Perubahan Iklim: Dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan air laut, secara langsung memengaruhi produktivitas lahan dan ketersediaan air. Hal ini dapat memicu migrasi paksa, memperparah kemiskinan petani, dan menambah kompleksitas konflik agraria.

  3. Urbanisasi dan Konversi Lahan: Pertumbuhan kota dan pembangunan infrastruktur perkotaan menyebabkan konversi lahan pertanian subur menjadi permukiman, industri, dan fasilitas umum. Ini mengancam kedaulatan pangan dan menghilangkan mata pencarian petani.

  4. Korupsi dan Mafia Tanah: Praktik korupsi dalam perizinan dan sertifikasi tanah, serta keberadaan "mafia tanah" yang bersekongkol dengan oknum aparat, memperburuk ketidakpastian hukum dan merugikan masyarakat kecil. Mereka memanipulasi data, memalsukan dokumen, dan melakukan intimidasi untuk merebut tanah.

  5. Inkonsistensi dan Tumpang Tindih Kebijakan: Masih banyak tumpang tindih regulasi antara sektor agraria, kehutanan, pertambangan, dan tata ruang. Inkonsistensi ini menciptakan kekosongan hukum, memicu konflik, dan mempersulit implementasi reforma agraria yang komprehensif.

V. Jalan ke Depan: Menuju Reforma Agraria yang Berkeadilan

Menyelesaikan persoalan agraria yang kompleks membutuhkan komitmen politik yang kuat dan pendekatan yang holistik. Reforma agraria, sebagaimana diamanatkan UUPA 1960, harus menjadi agenda prioritas yang diwujudkan secara nyata, bukan sekadar retorika. Reforma agraria yang sejati bukan hanya tentang bagi-bagi sertifikat tanah, melainkan sebuah proses struktural yang mencakup:

  1. Redistribusi Tanah: Mengalokasikan kembali tanah-tanah yang dikuasai secara tidak sah atau berlebihan kepada petani gurem, buruh tani, dan masyarakat adat yang tidak memiliki tanah. Ini juga termasuk pengembalian tanah-tanah yang dirampas secara tidak adil.

  2. Penguatan Hak-hak Masyarakat: Pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani. Ini mencakup percepatan pendaftaran tanah, penyelesaian sengketa, dan jaminan kepastian hukum atas tanah yang mereka kelola secara turun-temurun.

  3. Penyelesaian Konflik Agraria: Membentuk mekanisme yang efektif, transparan, dan berkeadilan untuk menyelesaikan konflik agraria yang telah menahun, dengan mengedepankan dialog dan musyawarah, serta memberikan keadilan bagi korban.

  4. Peningkatan Kesejahteraan Petani: Reforma agraria harus diikuti dengan program pemberdayaan ekonomi petani, seperti akses terhadap modal, teknologi, pasar, irigasi, dan pendampingan. Ini untuk memastikan bahwa tanah yang diterima benar-benar produktif dan meningkatkan taraf hidup mereka.

  5. Keberlanjutan Lingkungan: Mendorong praktik-praktik pertanian dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan secara ekologis, yang menjaga kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, dan sumber daya air.

Kesimpulan

Politik agraria adalah cermin dari komitmen sebuah bangsa terhadap keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan rakyatnya. Di Indonesia, ia adalah pusaran kompleks yang melibatkan sejarah kolonial, cita-cita kemerdekaan, tekanan pembangunan, dan berbagai kepentingan aktor. Ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, dan degradasi lingkungan adalah persoalan mendesak yang harus ditangani.

Mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah tugas besar yang membutuhkan political will kuat dari pemerintah, partisipasi aktif dari masyarakat sipil, dan sinergi dari berbagai pihak. Tanah harus kembali berfungsi sosial, bukan sekadar objek komoditas. Hanya dengan demikian, politik agraria dapat menjadi instrumen untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, makmur, dan lestari bagi generasi mendatang. Kegagalan dalam mengelola politik agraria secara bijaksana akan terus menyuburkan ketidakadilan, kemiskinan, dan gejolak sosial yang tak berkesudahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *