Berita  

Program Peremajaan Perkotaan Ancam Tempat Tinggal Warga Miskin

Program Peremajaan Perkotaan: Janji Kemajuan yang Mengancam Tempat Tinggal Warga Miskin

Di jantung kota-kota modern yang terus berkembang, terdapat narasi kemajuan yang memukau. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, infrastruktur modern, dan ruang publik yang diperbarui seringkali menjadi simbol ambisi sebuah kota untuk bersaing di panggung global. Di balik gemerlap pembangunan ini, terdapat sebuah mesin pendorong yang dikenal sebagai "program peremajaan perkotaan" atau "revitalisasi kota". Program ini dijanjikan akan membawa angin segar bagi kawasan-kawasan yang dianggap kumuh, usang, atau tidak produktif, mengubahnya menjadi pusat ekonomi baru, destinasi wisata menarik, atau hunian modern yang nyaman. Namun, di balik janji manis tentang kemajuan dan kesejahteraan yang merata, tersimpan bayangan gelap yang mengancam: penggusuran, marginalisasi, dan hilangnya tempat tinggal bagi komunitas warga miskin yang telah berakar selama bertahun-tahun, bahkan bergenerasi, di kawasan tersebut.

Paradoks Pembangunan: Kemajuan untuk Siapa?

Peremajaan perkotaan, pada intinya, adalah serangkaian intervensi yang dirancang untuk meningkatkan kondisi fisik, ekonomi, dan sosial suatu area perkotaan. Tujuannya terdengar mulia: meningkatkan kualitas hidup penduduk, menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan bahkan mengurangi tingkat kejahatan. Pemerintah kota seringkali berargumen bahwa program ini esensial untuk menjaga daya saing kota, meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak properti yang lebih tinggi, dan menyediakan lingkungan yang lebih sehat serta aman bagi semua.

Namun, pengalaman di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa narasi idealis ini seringkali berbenturan dengan realitas pahit. Kawasan yang ditargetkan untuk peremajaan biasanya adalah daerah-daerah tua, padat, dengan infrastruktur yang minim, dan seringkali dihuni oleh komunitas berpenghasilan rendah. Bagi pengembang dan pemerintah, area-area ini dilihat sebagai "lahan tidur" yang memiliki potensi ekonomi besar jika dikembangkan ulang. Bangunan-bangunan reyot, gang-gang sempit, dan pasar tradisional dianggap sebagai "penyakit" kota yang harus "disembuhkan" untuk mencapai citra kota yang modern dan maju.

Di sinilah letak paradoksnya. Pembangunan yang diklaim untuk "semua" pada kenyataannya seringkali hanya menguntungkan segelintir pihak: investor properti, pengembang, kelas menengah atas yang mencari hunian baru, dan pemerintah yang melihat peningkatan pendapatan. Sementara itu, warga miskin yang menjadi penghuni asli kawasan tersebut justru menjadi korban utama. Mereka bukan lagi bagian dari visi kota yang baru, melainkan hambatan yang harus disingkirkan.

Mekanisme Penggusuran Terselubung dan Terang-terangan

Proses penggusuran dalam program peremajaan perkotaan tidak selalu terjadi secara terang-terangan melalui buldoser dan aparat keamanan. Seringkali, ada mekanisme yang lebih halus namun sama merusaknya, yang dikenal sebagai gentrifikasi. Gentrifikasi adalah proses perubahan sosial-ekonomi di mana lingkungan perkotaan kelas pekerja atau kumuh mengalami peningkatan harga properti dan masuknya penduduk berpenghasilan lebih tinggi, yang pada gilirannya mendorong keluar penduduk asli berpenghasilan rendah.

Berikut adalah beberapa cara mekanisme ini bekerja:

  1. Kenaikan Harga Properti dan Sewa: Begitu sebuah kawasan ditetapkan untuk peremajaan, spekulasi tanah dan properti akan meningkat. Investor mulai membeli tanah dan bangunan, bahkan yang masih dihuni, dengan harapan harga akan melonjak setelah proyek selesai. Akibatnya, harga sewa juga akan melambung tinggi. Warga miskin, yang sebagian besar adalah penyewa atau pemilik properti kecil tanpa sertifikat yang jelas, tidak mampu lagi membayar sewa atau pajak properti yang kian mahal. Mereka terpaksa pindah, mencari tempat tinggal di pinggiran kota yang lebih terjangkau, seringkali jauh dari pusat pekerjaan dan fasilitas umum.

  2. Penarikan Layanan Publik Tradisional: Seiring dengan masuknya penduduk baru yang lebih makmur, terjadi pergeseran permintaan layanan. Warung-warung kecil, pasar tradisional, dan toko-toko kelontong yang melayani kebutuhan sehari-hari warga miskin mulai digantikan oleh kafe-kafe trendi, butik, atau supermarket mahal yang menargetkan konsumen baru. Lingkungan yang dulunya akrab dan terjangkau kini menjadi asing dan tidak ramah bagi penduduk asli.

  3. Tekanan Ekonomi dan Sosial: Warga miskin seringkali bekerja di sektor informal atau usaha kecil yang sangat bergantung pada jaringan komunitas lokal. Ketika lingkungan berubah, jaringan ini terputus. Usaha kecil mereka kehilangan pelanggan, dan mereka kesulitan bersaing dengan bisnis baru yang lebih besar dan bermodal. Tekanan sosial juga muncul, di mana mereka merasa tidak lagi diterima atau "cocok" dengan lingkungan yang telah berubah.

  4. Akuisisi Lahan Paksa (Penggusuran Langsung): Dalam banyak kasus, pemerintah atau pengembang langsung melakukan akuisisi lahan. Meskipun seringkali ada ganti rugi, jumlahnya seringkali tidak memadai untuk memungkinkan warga membeli atau menyewa di lokasi yang setara. Ganti rugi yang minim ini hanya cukup untuk menutupi biaya relokasi sementara atau membeli sebidang tanah di area yang jauh dari pusat kota, yang justru memperburuk akses mereka terhadap pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Hilangnya Identitas, Budaya, dan Jaringan Sosial

Dampak peremajaan perkotaan terhadap warga miskin jauh melampaui sekadar kehilangan tempat tinggal fisik. Ini adalah kehilangan identitas, budaya, dan jaringan sosial yang telah dibangun selama puluhan tahun, bahkan bergenerasi. Komunitas yang terpinggirkan seringkali memiliki ikatan sosial yang kuat, di mana tetangga saling membantu, anak-anak bermain bersama, dan tradisi lokal dilestarikan. Lingkungan mereka bukan hanya sekumpulan bangunan, melainkan sebuah ekosistem sosial yang kompleks.

Ketika komunitas ini tercerai-berai akibat penggusuran, ikatan sosial ini putus. Para lansia kehilangan dukungan dari tetangga, anak-anak harus berganti sekolah, dan mata pencarian yang bergantung pada jaringan lokal hancur. Masjid, gereja, kuil, atau balai pertemuan yang menjadi pusat kehidupan sosial dan spiritual komunitas juga hilang, merenggut rasa memiliki dan kontinuitas sejarah mereka. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang merusak fondasi keberadaan mereka, meninggalkan luka psikologis yang mendalam dan sulit disembuhkan.

Narasi "Pembersihan" dan Stigmatisasi

Untuk membenarkan program peremajaan yang cenderung mengusir warga miskin, seringkali digunakan narasi "pembersihan" atau "revitalisasi" yang melekatkan stigma negatif pada komunitas tersebut. Kawasan-kawasan kumuh digambarkan sebagai sarang kejahatan, penyakit, dan kemiskinan yang harus "dibersihkan" demi kebaikan kota secara keseluruhan. Warga miskin seringkali digambarkan sebagai penghalang kemajuan, tidak produktif, atau bahkan penyebab masalah sosial.

Narasi ini mengabaikan fakta bahwa banyak komunitas informal atau kumuh memiliki ketahanan (resilience) yang luar biasa, membangun kehidupan mereka sendiri di tengah keterbatasan, menciptakan ekonomi lokal yang dinamis, dan mengembangkan bentuk-bentuk solidaritas sosial yang kuat. Dengan menstigmatisasi mereka, pemerintah dan pengembang dapat dengan lebih mudah membenarkan penggusuran dan menekan perlawanan.

Mencari Solusi yang Berkeadilan: Pembangunan Inklusif

Jika program peremajaan perkotaan ingin benar-benar membawa kemajuan yang merata dan berkelanjutan, ia harus berlandaskan pada prinsip keadilan sosial dan inklusivitas. Ini berarti:

  1. Partisipasi Bermakna: Warga yang terdampak harus dilibatkan secara aktif dan bermakna dalam setiap tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai objek pembangunan. Suara mereka harus didengar dan kebutuhan mereka diakomodasi.

  2. Perumahan yang Terjangkau: Pembangunan kembali harus menyertakan penyediaan perumahan yang terjangkau bagi penduduk asli. Model seperti Community Land Trust (CLT) di mana tanah dimiliki oleh komunitas untuk menjamin keterjangkauan perumahan jangka panjang, atau skema perumahan sosial, bisa menjadi solusi.

  3. Peningkatan di Tempat (In Situ Upgrading): Alih-alih penggusuran total, prioritas harus diberikan pada peningkatan infrastruktur dan fasilitas di tempat, tanpa merelokasi penduduk. Ini memungkinkan komunitas untuk tetap mempertahankan jaringan sosial dan mata pencarian mereka.

  4. Ganti Rugi yang Adil dan Komprehensif: Jika relokasi tidak dapat dihindari, ganti rugi harus mencakup tidak hanya nilai properti tetapi juga biaya relokasi, kehilangan mata pencarian, dan kerusakan sosial-psikologis. Warga harus direlokasi ke lokasi yang setara atau lebih baik dalam hal akses ke pekerjaan dan layanan.

  5. Perlindungan Hukum dan Hak Atas Kota: Pemerintah harus memperkuat kerangka hukum untuk melindungi hak-hak warga miskin atas tempat tinggal dan tanah. Konsep "hak atas kota" yang mengklaim bahwa semua penduduk memiliki hak yang sama untuk menggunakan, menduduki, dan berpartisipasi dalam pembentukan kota, harus menjadi panduan.

  6. Kemitraan Multipihak: Pembangunan yang adil membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat yang paling rentan.

Kesimpulan

Program peremajaan perkotaan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan kota yang lebih modern, efisien, dan sejahtera. Di sisi lain, tanpa pendekatan yang berhati-hati dan berkeadilan, ia berpotensi menjadi alat penggusuran massal, memperparah ketimpangan sosial, dan menghancurkan kehidupan komunitas warga miskin yang telah berakar. Pembangunan kota seharusnya tidak mengorbankan sebagian penduduk demi kepentingan yang lain. Sebaliknya, ia harus menjadi proses inklusif yang memberdayakan semua warganya, menjamin hak mereka atas tempat tinggal, dan merayakan keragaman yang membuat sebuah kota menjadi hidup dan dinamis. Masa depan kota-kota kita tidak hanya ditentukan oleh gedung-gedung megah, tetapi juga oleh bagaimana kita memperlakukan warga yang paling rentan dalam perjalanan menuju kemajuan.

Exit mobile version