Sejarah parlemen

Jejak Parlemen: Dari Majelis Kuno hingga Demokrasi Modern

Parlemen, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah sebuah majelis perwakilan yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan mewakili suara rakyat. Institusi ini kini menjadi pilar utama demokrasi di seluruh dunia. Namun, parlemen bukanlah penemuan modern yang tiba-tiba muncul. Sebaliknya, ia adalah hasil dari evolusi panjang yang berlangsung selama ribuan tahun, berakar dari berbagai bentuk pertemuan dan musyawarah kuno, tumbuh di tengah gejolak politik, dan bertransformasi seiring dengan perkembangan masyarakat. Memahami sejarah parlemen adalah memahami perjalanan manusia menuju pemerintahan yang lebih partisipatif dan akuntabel.

Akar-Akar Awal: Benih Perwakilan Kuno

Jauh sebelum istilah "parlemen" dikenal, benih-benih lembaga perwakilan sudah ada dalam berbagai peradaban kuno. Di Yunani Kuno, khususnya Athena, terdapat Boule (dewan) dan Ecclesia (majelis rakyat) di mana warga negara dapat berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan. Meskipun ini lebih mengarah pada demokrasi langsung daripada perwakilan, konsep musyawarah dan pengambilan keputusan kolektif sudah mengemuka. Kekaisaran Romawi memiliki Senat, sebuah badan penasihat yang sangat berpengaruh, meskipun anggotanya bukan dipilih oleh rakyat secara luas.

Di wilayah Eropa Utara, suku-suku Jermanik dan Viking memiliki "Things" atau "Althings," majelis terbuka di mana orang-orang bebas berkumpul untuk menyelesaikan perselisihan, membuat keputusan komunal, dan mendengarkan pemimpin mereka. Demikian pula, di Inggris pra-Norman, terdapat "Witenagemot" (dewan orang-orang bijak), sebuah majelis penasihat bagi raja Anglo-Saxon, yang anggotanya terdiri dari bangsawan, ulama, dan pejabat penting. Meskipun lembaga-lembaga ini belum memiliki kekuatan legislatif seperti parlemen modern, mereka menunjukkan adanya kebutuhan akan musyawarah, konsensus, dan legitimasi dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat.

Abad Pertengahan: Kelahiran Institusi Parlemen

Periode Abad Pertengahan menjadi titik balik penting dalam sejarah parlemen, terutama di Eropa Barat. Kebutuhan para raja akan dana untuk membiayai perang atau proyek besar mendorong mereka untuk memanggil perwakilan dari berbagai "estate" atau kelompok sosial – bangsawan, ulama, dan rakyat biasa (borjuis atau ksatria). Raja membutuhkan persetujuan mereka, terutama untuk pungutan pajak baru. Pertemuan-pertemuan inilah yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal parlemen.

Inggris: Pelopor Parlemen Modern

Inggris sering dianggap sebagai tempat kelahiran parlemen modern karena perkembangannya yang paling kontinu dan berpengaruh. Titik balik penting pertama adalah penandatanganan Magna Carta pada tahun 1215. Meskipun awalnya merupakan perjanjian antara Raja John dan para baron yang memberontak, dokumen ini menetapkan prinsip bahwa raja tidak berada di atas hukum dan harus berkonsultasi dengan para baron (dewan umum kerajaan) sebelum memungut pajak baru. Ini menjadi fondasi penting bagi pembatasan kekuasaan monarki.

Perkembangan signifikan lainnya terjadi pada tahun 1265, ketika Simon de Montfort, seorang bangsawan yang memimpin pemberontakan melawan Raja Henry III, memanggil parlemen yang tidak hanya menyertakan bangsawan dan ulama, tetapi juga perwakilan dari ksatria di setiap shire (county) dan warga kota (burgess) dari kota-kota penting. Meskipun dipanggil dalam konteks krisis, parlemen Simon de Montfort ini menjadi preseden penting bagi representasi yang lebih luas.

Puncaknya adalah Model Parliament pada tahun 1295 yang dipanggil oleh Raja Edward I. Parlemen ini secara rutin menyertakan perwakilan dari bangsawan, ulama, ksatria, dan borjuis. Seiring waktu, parlemen Inggris terpecah menjadi dua kamar: House of Lords (Dewan Bangsawan), yang terdiri dari bangsawan dan ulama tinggi, dan House of Commons (Dewan Rakyat), yang terdiri dari ksatria dan borjuis terpilih. House of Commons secara bertahap mendapatkan kekuasaan yang lebih besar, terutama dalam hal keuangan dan pengajuan petisi kepada raja.

Perkembangan di Benua Eropa

Sementara Inggris mengembangkan model parlemen yang unik, institusi serupa juga muncul di bagian lain Eropa, meskipun dengan perkembangan yang berbeda. Di Prancis, terdapat Estates-General (États Généraux), yang juga memanggil perwakilan dari tiga "estate" (rohaniwan, bangsawan, dan rakyat biasa). Namun, Estates-General jarang dipanggil dan tidak pernah mencapai kekuatan atau kesinambungan seperti parlemen Inggris.

Di Spanyol, terdapat Cortes, di Portugal Cortes Gerais, dan di Kekaisaran Romawi Suci terdapat Diet (Reichstag). Semua lembaga ini berfungsi sebagai majelis konsultatif di mana raja atau penguasa berinteraksi dengan perwakilan dari berbagai kelompok sosial untuk mendapatkan dukungan, terutama dalam hal perpajakan atau kebijakan penting. Namun, kebanyakan dari mereka lebih rentan terhadap campur tangan monarki absolut dan tidak selalu berkembang menjadi badan legislatif yang mandiri.

Era Absolutisme dan Perjuangan Kekuasaan (Abad ke-16 hingga ke-18)

Periode ini ditandai dengan munculnya monarki absolut di banyak negara Eropa, di mana raja-raja berusaha memusatkan kekuasaan dan memerintah tanpa batasan, seringkali mengesampingkan atau membubarkan majelis perwakilan. Di Prancis, Estates-General tidak dipanggil selama lebih dari 175 tahun sebelum Revolusi Prancis.

Namun, Inggris kembali menjadi pengecualian. Parlemen Inggris menolak untuk tunduk pada kekuasaan absolut raja. Konflik antara Raja Charles I dan Parlemen memuncak dalam Perang Saudara Inggris (1642-1651), yang akhirnya menghasilkan eksekusi raja dan pembentukan Republik singkat di bawah Oliver Cromwell. Meskipun monarki dipulihkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Parlemen memiliki kekuatan yang signifikan.

Puncaknya adalah Revolusi Gemilang (Glorious Revolution) tahun 1688. Raja James II digulingkan dan digantikan oleh William III dan Mary II, yang harus menerima Bill of Rights (1689). Dokumen ini secara jelas membatasi kekuasaan monarki dan menegaskan supremasi Parlemen. Parlemen memiliki hak eksklusif untuk membuat undang-undang, memungut pajak, dan tentara tidak dapat dipelihara tanpa persetujuannya. Sejak saat itu, Inggris bergerak menuju monarki konstitusional di mana kekuasaan raja sangat dibatasi oleh Parlemen.

Revolusi dan Penyebaran Demokrasi (Abad ke-18 dan ke-19)

Abad ke-18 dan ke-19 menyaksikan gelombang revolusi yang mengubah lanskap politik global, dan parlemen menjadi inti dari tatanan baru ini.

Revolusi Amerika (1776), yang terinspirasi oleh ide-ide pencerahan dan pengalaman dengan parlemen Inggris, menciptakan model pemerintahan baru. Konstitusi Amerika Serikat (1787) membentuk sistem republik dengan pemisahan kekuasaan yang jelas, di mana Kongres (parlemen bikameral yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki kekuasaan legislatif yang signifikan dan independen dari eksekutif.

Revolusi Prancis (1789) menghancurkan monarki absolut dan Estates-General, menggantikannya dengan Majelis Nasional yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Meskipun Prancis mengalami periode ketidakstabilan politik yang panjang, revolusi ini menyebarkan gagasan tentang parlemen sebagai representasi kehendak rakyat dan fondasi pemerintahan yang sah.

Sepanjang abad ke-19, tekanan untuk reformasi parlemen dan perluasan hak pilih meningkat di banyak negara. Gerakan-gerakan demokrasi menuntut agar parlemen benar-benar mewakili seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kaum elit. Reformasi pemilu secara bertahap memperluas hak pilih, meskipun masih terbatas pada pria dewasa yang memiliki properti. Parlemen mulai menjadi pusat debat politik, tempat di mana partai-partai politik terbentuk dan bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Banyak negara di Eropa mengadopsi sistem monarki konstitusional atau republik dengan parlemen sebagai pusat kekuasaan.

Abad ke-20 dan Parlemen Modern: Tantangan dan Adaptasi

Abad ke-20 membawa perubahan radikal bagi parlemen. Setelah Perang Dunia I, gelombang demokratisasi menyapu banyak negara. Salah satu pencapaian terbesar adalah perluasan hak pilih universal, di mana wanita akhirnya mendapatkan hak pilih, dan batasan berdasarkan kepemilikan properti atau status sosial dihapuskan. Parlemen kemudian benar-benar menjadi lembaga yang secara teoretis mewakili seluruh warga negara dewasa.

Namun, abad ke-20 juga menghadirkan tantangan besar. Munculnya ideologi totalitarianisme seperti Fasisme, Nazisme, dan Komunisme menyebabkan penindasan atau pembubaran parlemen di banyak negara, digantikan oleh rezim satu partai atau kediktatoran. Krisis ekonomi global dan dua Perang Dunia juga menguji ketahanan institusi demokrasi.

Pasca-Perang Dunia II, terjadi penguatan kembali institusi parlementer di banyak negara, terutama di Eropa Barat. Parlemen menjadi lebih efisien dalam proses legislasi, dan perannya dalam mengawasi pemerintah semakin ditekankan. Banyak negara baru yang merdeka dari kolonialisme juga mengadopsi sistem parlementer, meskipun tidak semuanya berhasil mempertahankan stabilitas demokrasi.

Di era kontemporer, parlemen menghadapi tantangan baru. Globalisasi dan munculnya aktor non-negara (seperti perusahaan multinasional dan organisasi internasional) terkadang mengurangi relevansi legislasi nasional. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial mengubah cara interaksi antara politisi dan pemilih. Munculnya populisme dan polarisasi politik juga menguji kapasitas parlemen untuk mencapai konsensus dan membuat keputusan yang efektif. Selain itu, ada perdebatan tentang dominasi eksekutif dan birokrasi, yang kadang-kadang dianggap melemahkan kekuasaan legislatif parlemen.

Kesimpulan

Sejarah parlemen adalah kisah tentang perjuangan panjang manusia untuk mendapatkan suara dalam pemerintahan mereka. Dari majelis penasihat kuno hingga lembaga legislatif modern yang kompleks, parlemen telah berevolusi dari sekadar wadah untuk mendapatkan persetujuan pajak menjadi pusat kedaulatan rakyat, tempat di mana undang-undang dibuat, kebijakan diperdebatkan, dan pemerintah diawasi.

Meskipun menghadapi tantangan yang terus berkembang di abad ke-21, peran parlemen tetap fundamental dalam sistem demokrasi. Ia adalah representasi keberagaman masyarakat, penjaga checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif, dan forum esensial untuk debat publik yang sehat. Parlemen adalah institusi yang dinamis, terus beradaptasi dengan perubahan zaman, namun tetap memegang teguh prinsip dasar perwakilan dan akuntabilitas yang telah diukir sepanjang sejarahnya yang panjang dan penuh gejolak.

Exit mobile version