Berita  

Sekolah Rusak Tak Kunjung Diperbaiki: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Sekolah Rusak Tak Kunjung Diperbaiki: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pendidikan adalah investasi paling fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa. Ia adalah gerbang menuju masa depan yang lebih cerah, tempat generasi penerus ditempa dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Namun, di balik narasi ideal ini, realitas pahit seringkali menghantui ribuan anak-anak di Indonesia: belajar di tengah bangunan sekolah yang rusak, reyot, dan membahayakan. Kisah-kisah tentang atap bocor, dinding retak, lantai ambles, hingga fasilitas sanitasi yang tidak layak bukan lagi berita asing. Yang lebih memprihatinkan, kerusakan ini seringkali tak kunjung diperbaiki, meninggalkan tanda tanya besar: siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas kondisi memprihatinkan ini?

Potret Buram Pendidikan di Tengah Reruntuhan

Bayangkan seorang anak harus belajar di kelas yang gelap karena jendela pecah dan tidak diganti, atau harus berbagi bangku dengan teman-temannya karena jumlah bangku yang rusak tak sebanding dengan kebutuhan. Lebih parah lagi, bayangkan kekhawatiran orang tua setiap kali hujan deras mengguyur, takut jika atap sekolah anaknya akan ambruk. Inilah gambaran nyata yang dihadapi oleh jutaan siswa di seluruh pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari pegunungan terpencil hingga pinggiran kota metropolitan.

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbudristek) secara konsisten menunjukkan angka yang mencengangkan. Setiap tahun, ribuan ruang kelas dan fasilitas sekolah dilaporkan dalam kondisi rusak ringan, sedang, hingga parah. Angka ini seringkali tidak mencakup kerusakan minor yang dibiarkan menumpuk hingga menjadi kerusakan struktural yang serius. Kondisi ini tidak hanya mengganggu proses belajar-mengajar tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak aman, tidak nyaman, dan secara psikologis merendahkan martabat siswa dan guru.

Sekolah yang rusak parah tidak hanya berdampak pada estetika, melainkan juga pada kualitas pendidikan secara keseluruhan. Anak-anak yang belajar di lingkungan yang kumuh cenderung memiliki motivasi belajar yang rendah. Guru-guru pun kesulitan mengajar secara optimal dalam kondisi yang tidak memadai, seringkali harus menghadapi ancaman keselamatan diri dan murid-muridnya. Lebih dari itu, kondisi ini memperparah ketimpangan akses pendidikan. Sementara anak-anak di perkotaan atau daerah maju menikmati fasilitas modern, saudara-saudara mereka di daerah terpencil masih berjuang di antara reruntuhan, seolah-olah masa depan mereka tak seberharga yang lain.

Dampak Berantai Kerusakan Infrastruktur Pendidikan

Dampak dari sekolah yang rusak tak kunjung diperbaiki jauh melampaui sekadar masalah fisik bangunan. Ini adalah masalah multidimensional yang mengikis fondasi pembangunan sumber daya manusia Indonesia:

  1. Penurunan Kualitas Pembelajaran: Lingkungan fisik yang buruk adalah distraksi konstan. Bisingnya tetesan air hujan dari atap bocor, dinginnya udara yang masuk dari dinding retak, atau bau tak sedap dari toilet yang mampet, semuanya mengganggu konsentrasi siswa dan guru. Proses transfer ilmu menjadi tidak efektif, dan pencapaian akademik cenderung menurun.
  2. Ancaman Keselamatan dan Kesehatan: Ini adalah risiko paling nyata. Bangunan yang reyot dapat ambruk kapan saja, mengancam nyawa. Fasilitas sanitasi yang buruk menjadi sarang penyakit, menyebabkan masalah kesehatan seperti diare, cacingan, atau penyakit kulit yang dapat mengganggu kehadiran siswa di sekolah.
  3. Demotivasi dan Putus Sekolah: Siswa merasa tidak dihargai ketika harus belajar di tempat yang tidak layak. Rasa malu dan frustrasi dapat menurunkan motivasi mereka untuk bersekolah. Dalam jangka panjang, kondisi ini berkontribusi pada angka putus sekolah, terutama di daerah-daerah yang secara ekonomi dan sosial rentan.
  4. Kesenjangan Pendidikan: Sekolah yang rusak lebih banyak ditemukan di daerah terpencil, pedesaan, atau kantong-kantong kemiskinan. Hal ini memperlebar jurang kesenjangan antara pendidikan yang berkualitas di perkotaan dan yang minim di pedesaan, menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan ketertinggalan.
  5. Penurunan Kualitas Guru: Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, namun mereka juga manusia. Mengajar di lingkungan yang tidak kondusif dapat menurunkan semangat dan produktivitas mereka. Bahkan guru-guru terbaik pun akan kesulitan untuk memberikan yang terbaik jika fasilitas dasar tidak terpenuhi.

Mengurai Benang Kusut Tanggung Jawab: Siapa Sebenarnya?

Pertanyaan "Siapa yang bertanggung jawab?" tidak memiliki jawaban tunggal, melainkan sebuah jaring kompleks yang melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan dan pemangku kepentingan.

1. Pemerintah Pusat:
Sebagai pemegang kebijakan tertinggi dan alokator anggaran nasional, Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Keuangan) memegang peran krusial.

  • Perumusan Kebijakan dan Standar: Bertanggung jawab menetapkan standar minimum sarana dan prasarana pendidikan serta merumuskan kebijakan terkait pemeliharaan dan pembangunan sekolah.
  • Alokasi Anggaran: Mengalokasikan dana transfer ke daerah seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebagian besar diperuntukkan bagi pendidikan, termasuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur.
  • Pengawasan dan Evaluasi: Memiliki kewajiban untuk memonitor penggunaan dana dan efektivitas program pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah.

2. Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota):
Inilah aktor utama di garis depan, yang paling dekat dengan masalah dan paling bertanggung jawab atas implementasi.

  • Perencanaan dan Pengelolaan Anggaran Daerah: Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebagian besar dialokasikan untuk pendidikan. Mereka bertanggung jawab merencanakan, mengalokasikan, dan mengelola dana perbaikan sekolah.
  • Pendataan dan Prioritisasi: Mereka seharusnya memiliki data akurat tentang kondisi sekolah di wilayahnya dan memprioritaskan perbaikan berdasarkan tingkat kerusakan dan urgensi.
  • Pelaksanaan dan Pengawasan Proyek: Dinas pendidikan di tingkat daerah adalah pelaksana langsung proyek rehabilitasi sekolah. Mereka bertanggung jawab atas proses tender, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan kualitas pekerjaan.
  • Pemeliharaan Rutin: Selain perbaikan besar, pemeliharaan rutin seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah agar kerusakan tidak semakin parah.

3. Komite Sekolah dan Manajemen Sekolah:
Mereka adalah mata dan telinga di lapangan, yang paling tahu kondisi riil sekolah setiap hari.

  • Pelaporan: Bertanggung jawab melaporkan kondisi kerusakan sekolah secara berkala dan akurat kepada dinas pendidikan setempat.
  • Pengelolaan Dana BOS: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima sekolah juga dapat digunakan untuk pemeliharaan ringan dan perbaikan kecil. Manajemen sekolah harus bijak dalam mengalokasikan dana ini.
  • Advokasi dan Keterlibatan Masyarakat: Komite sekolah dapat menjadi jembatan antara sekolah dan masyarakat untuk menggalang dukungan atau menyuarakan kebutuhan perbaikan kepada pemerintah daerah.

4. Masyarakat dan Orang Tua:
Peran masyarakat, khususnya orang tua siswa, seringkali diremehkan, padahal sangat vital.

  • Pengawasan: Masyarakat dapat menjadi pengawas independen terhadap pelaksanaan proyek perbaikan sekolah dan melaporkan jika ada indikasi penyimpangan atau kualitas pekerjaan yang buruk.
  • Partisipasi: Dalam beberapa kasus, masyarakat dapat bergotong royong atau menggalang dana untuk perbaikan darurat atau pemeliharaan ringan.
  • Advokasi: Menyalurkan aspirasi dan tekanan kepada pemerintah daerah agar masalah sekolah rusak menjadi prioritas.

Akar Masalah di Balik Ketidakberesan

Meskipun pembagian tanggung jawab sudah jelas, mengapa masalah ini tak kunjung tuntas? Beberapa akar masalah yang kerap muncul antara lain:

  • Birokrasi Berbelit: Proses pengajuan perbaikan yang panjang dan berbelit-belit antara sekolah, dinas pendidikan, hingga perencanaan anggaran di tingkat daerah.
  • Kurangnya Koordinasi: Antara pemerintah pusat dan daerah, atau antar dinas di tingkat daerah, seringkali terjadi tumpang tindih kewenangan atau bahkan saling lempar tanggung jawab.
  • Data yang Tidak Akurat: Pendataan kerusakan sekolah yang tidak konsisten atau tidak diperbarui secara berkala menyebabkan alokasi anggaran tidak tepat sasaran atau tidak sesuai prioritas.
  • Alokasi Anggaran yang Tidak Memadai/Tepat Sasaran: Meskipun ada dana, jumlahnya mungkin tidak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan perbaikan, atau alokasinya tidak efektif, misalnya lebih memprioritaskan pembangunan baru daripada rehabilitasi.
  • Praktik Korupsi: Anggaran yang seharusnya untuk perbaikan sekolah seringkali menjadi target korupsi, mulai dari mark-up harga, pengurangan spesifikasi material, hingga proyek fiktif. Ini adalah dosa besar yang merampas hak anak-anak atas pendidikan yang layak.
  • Lemahnya Pengawasan: Kurangnya pengawasan dari internal pemerintah maupun masyarakat membuat praktik penyimpangan sulit terdeteksi dan tidak tertindak.
  • Budaya Pemeliharaan yang Buruk: Kurangnya kesadaran akan pentingnya pemeliharaan preventif, sehingga kerusakan kecil dibiarkan menumpuk hingga menjadi parah dan membutuhkan biaya perbaikan yang jauh lebih besar.

Menuju Solusi Komprehensif dan Berkelanjutan

Mengatasi masalah sekolah rusak tak kunjung diperbaiki membutuhkan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan semua pihak:

  1. Penguatan Data dan Sistem Informasi Terpadu: Membangun sistem pendataan kerusakan sekolah yang akurat, real-time, dan terintegrasi antara pusat dan daerah. Data ini harus menjadi dasar utama dalam perencanaan anggaran dan prioritisasi perbaikan.
  2. Penyederhanaan Birokrasi dan Percepatan Prosedur: Memangkas rantai birokrasi dalam pengajuan dan pencairan dana perbaikan. Perlu ada mekanisme tanggap darurat untuk kerusakan yang mengancam keselamatan.
  3. Peningkatan Anggaran dan Transparansi: Mengalokasikan anggaran yang memadai untuk rehabilitasi dan pemeliharaan sekolah, serta memastikan transparansi penuh dalam setiap tahap penggunaan dana, mulai dari perencanaan hingga pelaporan.
  4. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Memperketat pengawasan internal dan eksternal terhadap proyek perbaikan sekolah. Tindak tegas pelaku korupsi yang merugikan masa depan pendidikan anak bangsa.
  5. Pelibatan Aktif Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif komite sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam pengawasan, advokasi, dan bahkan gotong royong untuk pemeliharaan ringan.
  6. Pembangunan Budaya Pemeliharaan Preventif: Mengedukasi dan mengimplementasikan program pemeliharaan rutin di setiap sekolah, didukung oleh anggaran yang memadai, agar kerusakan tidak menumpuk dan menjadi parah.
  7. Kolaborasi Multi-Pihak: Mendorong kerja sama antara pemerintah, swasta (melalui program CSR), organisasi non-pemerintah, dan masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi inovatif.

Kesimpulan

Masalah sekolah rusak tak kunjung diperbaiki adalah cerminan dari kegagalan sistemik yang melibatkan berbagai lapis tanggung jawab. Bukan hanya tentang satu pihak yang patut disalahkan, melainkan tentang bagaimana seluruh elemen bangsa – dari pembuat kebijakan tertinggi hingga masyarakat di akar rumput – gagal menjalankan perannya secara optimal.

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, dan negara berkewajiban untuk memastikan hak tersebut terpenuhi. Sekolah yang layak bukan sekadar bangunan, melainkan simbol harapan, tempat mimpi-mimpi anak bangsa dirajut. Sudah saatnya kita bergerak dari saling tuding menjadi kolaborasi yang konstruktif. Masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak yang kini belajar. Jangan biarkan mereka berjuang di tengah reruntuhan, karena setiap batu bata yang rusak adalah pengingat akan janji yang belum terpenuhi, dan setiap anak yang terpinggirkan adalah kerugian tak ternilai bagi bangsa. Tanggung jawab ini adalah milik kita bersama, untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh anak Indonesia.

Exit mobile version