Tindak Pidana Perusakan Fasilitas Publik saat Demo Massa

Anarkisme di Balik Aspirasi: Mengurai Tindak Pidana Perusakan Fasilitas Publik saat Demo Massa

Pendahuluan

Demokrasi di Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi massa. Hak ini merupakan pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan yang memungkinkan rakyat menyuarakan aspirasi, kritik, atau tuntutan kepada pemerintah. Namun, ironisnya, seringkali hak konstitusional yang mulia ini tercoreng oleh tindakan anarkis yang berujung pada perusakan fasilitas publik. Ketika massa yang seharusnya menyalurkan aspirasi secara damai justru merusak halte, membakar kendaraan, atau meruntuhkan infrastruktur, esensi demokrasi itu sendiri dipertanyakan. Tindakan perusakan ini bukan lagi sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan telah masuk ranah tindak pidana yang memiliki konsekuensi hukum serius. Artikel ini akan mengupas tuntas aspek hukum, dampak multidimensional, serta upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan fasilitas publik saat demo massa, menyoroti kompleksitas masalah ini dari berbagai sudut pandang.

Memahami Hak Demokrasi dan Batasannya

Kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mengatur mekanisme pelaksanaan hak tersebut. UU ini secara jelas menyatakan bahwa penyampaian pendapat harus dilakukan secara damai, tertib, dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan tanpa batas. Batasan fundamentalnya adalah tidak boleh melanggar hak asasi orang lain, tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berlaku, dan tidak boleh mengganggu ketertiban umum. Perusakan fasilitas publik adalah pelanggaran terang-terangan terhadap batasan ini. Fasilitas publik, seperti jalan, jembatan, gedung pemerintahan, halte, rambu lalu lintas, taman kota, hingga sarana transportasi, adalah milik bersama yang dibangun dari pajak rakyat dan berfungsi untuk kepentingan seluruh masyarakat. Merusak fasilitas ini berarti merugikan diri sendiri dan orang banyak, serta mencederai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Definisi dan Bentuk Perusakan Fasilitas Publik

Fasilitas publik dapat diartikan sebagai segala sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah atau pihak swasta untuk melayani kebutuhan umum masyarakat. Contohnya meliputi:

  1. Infrastruktur Transportasi: Halte bus, rambu lalu lintas, lampu lalu lintas, trotoar, jalan raya, jembatan, stasiun, terminal, kendaraan umum (bus, kereta).
  2. Gedung dan Kantor: Kantor pemerintahan, kantor polisi, gedung DPRD, fasilitas pelayanan publik (rumah sakit, sekolah).
  3. Ruang Terbuka Hijau: Taman kota, bangku taman, fasilitas olahraga publik.
  4. Utilitas Publik: Tiang listrik, gardu listrik, pipa air, kabel telekomunikasi.
  5. Aset Lain: Papan reklame, CCTV, mesin ATM, pagar pembatas.

Bentuk perusakan yang terjadi saat demo massa sangat beragam, mulai dari vandalisme ringan seperti coretan atau grafiti yang tidak pada tempatnya, pecahnya kaca jendela, pembakaran kendaraan atau bangunan, perobohan pagar, hingga penghancuran total suatu objek. Tindakan-tindakan ini seringkali dilakukan secara sporadis oleh individu atau kelompok kecil yang menyusup di tengah kerumunan massa yang lebih besar, atau bahkan oleh massa yang terprovokasi dan kehilangan kendali.

Aspek Hukum Tindak Pidana Perusakan

Tindakan perusakan fasilitas publik saat demo massa bukan hanya pelanggaran etika berdemokrasi, melainkan delik pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang terkait lainnya. Beberapa pasal KUHP yang relevan antara lain:

  1. Pasal 406 KUHP tentang Perusakan Barang:

    • Ayat (1): "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghilangkan atau membuat tidak berdaya barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." (Denda disesuaikan dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru menjadi Kategori II: Rp10.000.000,00)
    • Unsur-unsur penting: "Dengan sengaja" (niat jahat), "melawan hukum" (tanpa hak), dan "merusak/membuat tidak dapat dipakai" (menurunkan fungsi atau nilai). Fasilitas publik, meskipun bukan milik pribadi, termasuk dalam kategori "kepunyaan orang lain" dalam konteks negara/pemerintah sebagai pemilik.
    • Ayat (2): Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian yang tidak seberapa, dapat dikenakan denda lebih ringan. Namun, perusakan fasilitas publik umumnya menyebabkan kerugian signifikan.
  2. Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan Bersama terhadap Orang atau Barang:

    • "Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan."
    • Jika kekerasan itu mengakibatkan orang mati atau luka berat, ancaman pidananya bisa lebih tinggi. Pasal ini sangat relevan karena perusakan saat demo seringkali dilakukan "bersama-sama di muka umum" oleh sekelompok orang.
  3. Pasal 187 KUHP tentang Pembakaran:

    • Ayat (1): "Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika perbuatan itu menimbulkan bahaya umum bagi barang."
    • Jika perbuatan tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain, ancaman pidananya bisa mencapai lima belas tahun atau bahkan seumur hidup jika mengakibatkan kematian. Pembakaran kendaraan atau bangunan fasilitas publik sangat sering terjadi dan termasuk dalam kategori delik ini.
  4. Pasal 218 KUHP tentang Menyerang Penguasa/Pegawai Negeri:

    • "Barang siapa dengan sengaja menyerang atau melakukan kekerasan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugas umum yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
    • Meskipun fokusnya pada orang, perusakan fasilitas yang merupakan bagian dari tugas atau aset pejabat publik (misal, kendaraan dinas) dapat dikaitkan.

Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berlaku bagi pelaku langsung (pleger) yang melakukan perusakan, tetapi juga dapat meluas kepada:

  • Turut Serta Melakukan (medepleger): Orang yang bersama-sama melakukan perbuatan.
  • Penyuruh Lakukan (doen pleger): Orang yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan.
  • Penganjur (uitlokker): Orang yang dengan sengaja menganjurkan atau memprovokasi orang lain untuk melakukan perbuatan.
  • Pembantu (medeplichtige): Orang yang membantu melakukan perbuatan pidana.

Hal ini berarti bahwa provokator yang menghasut massa untuk merusak, atau koordinator demo yang lalai dalam mengendalikan massanya sehingga terjadi perusakan, juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai peran masing-masing.

Dampak Multidimensional Perusakan Fasilitas Publik

Perusakan fasilitas publik membawa dampak yang sangat luas dan merugikan, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

1. Dampak Ekonomi:

  • Kerugian Materiil Negara: Ini adalah dampak paling langsung. Dana miliaran hingga triliunan rupiah yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur baru, peningkatan pelayanan publik, atau program kesejahteraan rakyat, terpaksa dialihkan untuk perbaikan atau penggantian fasilitas yang rusak. Ini merupakan beban ganda bagi anggaran negara.
  • Penurunan Produktivitas Ekonomi: Kerusakan jalan, jembatan, atau transportasi publik dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi, menghambat distribusi barang dan jasa, serta mengganggu mobilitas pekerja.
  • Penurunan Investasi dan Pariwisata: Citra buruk akibat kerusuhan dan perusakan dapat membuat investor ragu menanamkan modal, dan wisatawan enggan berkunjung, yang pada akhirnya merugikan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
  • Beban Pajak Rakyat: Dana perbaikan berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Artinya, tindakan anarkis segelintir orang pada akhirnya ditanggung oleh seluruh masyarakat.

2. Dampak Sosial:

  • Gangguan Pelayanan Publik: Masyarakat luas yang tidak terlibat dalam demo menjadi korban karena terhambatnya akses ke fasilitas vital seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, atau layanan administrasi pemerintahan.
  • Rasa Tidak Aman dan Trauma: Tindakan perusakan yang disertai kekerasan dapat menimbulkan rasa takut, cemas, dan trauma psikologis di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di lokasi kejadian atau menjadi saksi mata.
  • Rusaknya Citra Demokrasi: Perusakan fasilitas publik merusak esensi demokrasi itu sendiri, menjadikan unjuk rasa sebagai ajang kekerasan dan anarkisme, bukan penyalur aspirasi yang konstruktif. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap mekanisme demokrasi.
  • Polarisasi Sosial: Peristiwa anarkis seringkali memperdalam perpecahan di masyarakat, memunculkan kubu pro dan kontra yang saling menyalahkan, dan menghambat dialog konstruktif.

3. Dampak Lingkungan (Tidak Langsung):

  • Pembakaran fasilitas dapat menghasilkan polusi udara yang berbahaya.
  • Sisa-sisa kerusakan dapat menjadi limbah yang sulit diurai dan mengganggu kebersihan lingkungan.

Faktor Pendorong dan Upaya Pencegahan

Beberapa faktor dapat mendorong terjadinya perusakan fasilitas publik saat demo massa:

  • Provokasi: Adanya oknum atau kelompok yang sengaja menyusup untuk memprovokasi massa agar bertindak anarkis, seringkali dengan motif tersembunyi.
  • Emosi Massa dan Anonimitas: Dalam kerumunan besar, individu cenderung kehilangan identitas diri (deindividuasi) dan lebih mudah terpengaruh emosi kolektif, merasa anonim sehingga berani melakukan tindakan yang tidak akan mereka lakukan sendiri.
  • Kurangnya Pemahaman Hukum dan Etika Berdemokrasi: Sebagian demonstran mungkin tidak sepenuhnya memahami konsekuensi hukum dari tindakan perusakan, atau tidak memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga fasilitas publik.
  • Ketiadaan Penegakan Hukum yang Tegas: Jika pelaku perusakan jarang ditindak atau sanksinya ringan, hal ini dapat menciptakan impunitas dan mendorong pengulangan tindakan serupa.
  • Frustrasi dan Ketidakpuasan Ekstrem: Rasa frustrasi yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, atau politik tertentu dapat memicu tindakan destruktif ketika saluran aspirasi dirasa buntu.

Untuk mencegah terulangnya tindak pidana perusakan, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak:

  • Edukasi dan Literasi Hukum: Sosialisasi terus-menerus mengenai hak dan kewajiban dalam berunjuk rasa, serta konsekuensi hukum dari perbuatan anarkis, baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum, maupun organisasi masyarakat sipil.
  • Peran Koordinator Lapangan: Penyelenggara unjuk rasa dan koordinator lapangan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan demo berjalan damai, mengendalikan massa, dan segera mengidentifikasi serta mengisolasi provokator.
  • Peningkatan Pengamanan dan Pengawasan: Pemanfaatan teknologi seperti CCTV, drone, dan identifikasi wajah dapat membantu aparat keamanan dalam memantau, mencegah, dan mengidentifikasi pelaku perusakan.
  • Dialog Konstruktif: Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, sehingga potensi frustrasi dapat diredam sebelum memuncak menjadi tindakan anarkis.
  • Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil: Aparat penegak hukum harus bertindak cepat dan tegas dalam mengusut, menangkap, dan memproses hukum pelaku perusakan, tanpa pandang bulu.

Penegakan Hukum dan Penanganan Pasca-Kerusakan

Ketika perusakan telah terjadi, proses penegakan hukum harus segera berjalan. Tahapannya meliputi:

  1. Pengamanan Lokasi dan Olah TKP: Aparat kepolisian segera mengamankan lokasi, mengumpulkan bukti fisik, dan mendokumentasikan kerusakan.
  2. Identifikasi dan Penangkapan Pelaku: Melalui rekaman CCTV, kesaksian saksi mata, dan bukti forensik, pelaku diidentifikasi dan ditangkap. Tantangan terbesar adalah mengidentifikasi individu di tengah kerumunan massa.
  3. Penyidikan dan Penetapan Tersangka: Setelah penangkapan, dilakukan penyidikan untuk mengumpulkan bukti yang cukup guna menetapkan status tersangka.
  4. Proses Peradilan: Tersangka akan menjalani proses peradilan hingga putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sanksi pidana yang dijatuhkan harus mencerminkan beratnya perbuatan dan menimbulkan efek jera.
  5. Ganti Rugi: Selain pidana penjara, pelaku juga dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan, meskipun dalam praktiknya seringkali sulit untuk menagih ganti rugi dari banyak pelaku.

Kesimpulan

Tindak pidana perusakan fasilitas publik saat demo massa adalah fenomena kompleks yang mengancam sendi-sendi demokrasi dan merugikan seluruh masyarakat. Meskipun kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang harus dilindungi, ia memiliki batasan yang jelas, yaitu tidak boleh melanggar hukum dan merugikan kepentingan umum. Perusakan fasilitas publik adalah pelanggaran serius terhadap batasan ini, yang diancam dengan sanksi pidana berat sesuai KUHP.

Dampak yang ditimbulkan sangat merugikan, mulai dari kerugian ekonomi yang ditanggung oleh pajak rakyat, gangguan pelayanan publik, hingga rusaknya citra demokrasi dan timbulnya rasa tidak aman di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, dan seluruh elemen masyarakat untuk mencegah terjadinya anarkisme. Edukasi hukum, pengawasan ketat, penegakan hukum yang tegas, serta ruang dialog yang konstruktif adalah kunci untuk memastikan bahwa aspirasi dapat tersalurkan secara damai dan bertanggung jawab, tanpa harus mengorbankan fasilitas publik yang sejatinya adalah milik kita bersama. Menjaga fasilitas publik adalah wujud nyata dari partisipasi aktif dalam membangun dan merawat peradaban bangsa yang berdemokrasi.

Exit mobile version