Kota Layak Anak: Mimpi yang Masih Jauh dari Realitas di Banyak Daerah Indonesia
Indonesia, dengan lebih dari 80 juta penduduk di bawah usia 18 tahun, memiliki investasi besar pada masa depan bangsanya. Anak-anak adalah pondasi peradaban, agen perubahan, dan penerus cita-cita bangsa. Menyadari urgensi ini, konsep Kota Layak Anak (KLA) digaungkan sebagai sebuah inisiatif ambisius untuk menciptakan lingkungan yang ramah, aman, dan mendukung tumbuh kembang optimal bagi setiap anak. KLA bukan sekadar label atau penghargaan, melainkan sebuah sistem pembangunan yang mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam setiap aspek kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah daerah. Namun, di tengah gemuruh narasi pembangunan yang inklusif, realitas di lapangan menunjukkan bahwa impian Kota Layak Anak masih jauh dari harapan di banyak daerah di Indonesia.
Memahami Esensi Kota Layak Anak
Sebelum menyelami tantangan yang ada, penting untuk memahami apa sebenarnya KLA. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kota Layak Anak, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Konsep ini mencakup lima klaster hak anak, yaitu:
- Hak Sipil dan Kebebasan: Hak atas nama, kebangsaan, dan pencatatan kelahiran.
- Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif: Hak untuk diasuh orang tua, perlindungan dari kekerasan, dan dukungan keluarga.
- Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan: Hak atas pelayanan kesehatan, gizi, dan lingkungan yang sehat.
- Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya: Hak atas pendidikan, bermain, dan partisipasi dalam kegiatan budaya.
- Perlindungan Khusus: Perlindungan bagi anak-anak dalam situasi sulit, seperti korban kekerasan, eksploitasi, atau konflik.
Idealnya, sebuah daerah yang mengklaim sebagai KLA harus memastikan bahwa kelima klaster ini terpenuhi secara komprehensif, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik sehari-hari. Artinya, KLA bukan hanya tentang membangun taman bermain yang indah, tetapi juga tentang memastikan setiap anak memiliki akta kelahiran, bebas dari kekerasan, mendapatkan pendidikan berkualitas, dan suaranya didengar dalam setiap kebijakan yang menyangkut mereka.
Tantangan Menggapai Impian KLA: Mengapa Masih Jauh dari Harapan?
Meskipun kerangka hukum dan kebijakan untuk KLA sudah ada, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks dan berlapis.
1. Komitmen Politik dan Prioritas Anggaran yang Belum Merata:
Banyak pemerintah daerah masih melihat KLA sebagai sebuah program seremonial untuk mendapatkan penghargaan, bukan sebagai paradigma pembangunan yang fundamental. Akibatnya, komitmen politik dari kepala daerah dan jajarannya seringkali belum kuat dan berkelanjutan. Ini tercermin dari minimnya alokasi anggaran yang spesifik dan memadai untuk program-program berbasis hak anak. Anggaran seringkali tersebar di berbagai dinas tanpa koordinasi yang jelas, atau bahkan diprioritaskan untuk proyek-proyek infrastruktur fisik yang dianggap lebih "populer" secara politik. KLA membutuhkan investasi jangka panjang, namun banyak daerah masih terjebak pada perencanaan anggaran tahunan yang tidak holistik.
2. Kualitas Infrastruktur dan Akses Layanan yang Belum Merata:
Salah satu pilar KLA adalah penyediaan infrastruktur dan layanan yang ramah anak. Namun, di banyak daerah, terutama di wilayah pelosok atau daerah padat penduduk, kondisi ini jauh dari ideal.
- Pendidikan: Masih banyak sekolah dengan fasilitas yang tidak memadai, sanitasi buruk, atau bahkan tidak aman dari bencana. Akses terhadap pendidikan berkualitas juga tidak merata, dengan kesenjangan yang mencolok antara perkotaan dan pedesaan. Program wajib belajar 12 tahun seringkali terhambat oleh faktor ekonomi keluarga dan kualitas pengajaran yang rendah.
- Kesehatan: Layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) masih belum optimal. Tingkat stunting masih menjadi masalah serius di banyak daerah, menunjukkan kegagalan dalam pemenuhan gizi dan sanitasi yang layak. Puskesmas atau rumah sakit ramah anak masih menjadi barang mewah di beberapa wilayah.
- Ruang Publik: Ketersediaan taman bermain yang aman, bersih, dan aksesibel masih sangat terbatas. Banyak anak terpaksa bermain di jalanan yang berbahaya atau di lahan kosong yang tidak terawat. Ruang publik yang ada seringkali tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
- Sanitasi dan Lingkungan: Lingkungan yang tidak sehat, polusi, dan akses terbatas terhadap air bersih masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan anak, terutama di daerah kumuh dan pedesaan.
3. Tingginya Angka Kekerasan dan Eksploitasi Anak:
Ini adalah salah satu indikator paling mencolok mengapa KLA masih jauh dari harapan. Kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikologis, maupun seksual, masih terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Eksploitasi anak dalam bentuk pekerja anak, perdagangan anak, dan perkawinan anak juga masih menjadi persoalan kronis di banyak daerah. Mekanisme pelaporan dan penanganan kasus seringkali belum efektif, korban tidak mendapatkan pendampingan yang memadai, dan pelaku tidak selalu mendapatkan hukuman yang setimpal. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di banyak daerah masih kekurangan sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas yang memadai untuk menjalankan tugasnya secara optimal.
4. Partisipasi Anak yang Masih Minim:
Prinsip utama KLA adalah partisipasi anak dalam setiap kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka. Namun, di banyak daerah, partisipasi anak masih bersifat simbolis atau tokenistik. Forum Anak yang seharusnya menjadi wadah aspirasi anak-anak seringkali tidak memiliki kekuatan nyata untuk memengaruhi kebijakan. Suara anak-anak masih dianggap sebelah mata, atau bahkan tidak didengar sama sekali, terutama dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Ini menunjukkan kurangnya pemahaman orang dewasa tentang pentingnya mendengarkan perspektif anak-anak.
5. Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kesadaran Masyarakat yang Rendah:
Implementasi KLA membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih dan memiliki perspektif hak anak. Namun, banyak petugas layanan publik (guru, tenaga kesehatan, kepolisian, pekerja sosial) yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai dalam pendekatan ramah anak. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak dan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak masih rendah. Pola asuh yang permisif atau justru terlalu represif masih banyak ditemukan, berkontribusi pada kerentanan anak terhadap kekerasan dan kurangnya ruang ekspresi.
6. Koordinasi dan Sinergi Lintas Sektor yang Lemah:
KLA adalah upaya multi-sektoral yang membutuhkan koordinasi erat antara berbagai dinas (pendidikan, kesehatan, sosial, pekerjaan umum, Bappeda), lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media. Namun, di banyak daerah, ego sektoral masih menjadi penghalang. Masing-masing dinas berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi yang kuat, menyebabkan tumpang tindih program atau justru adanya celah yang tidak terisi. Keterlibatan aktif dari organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta juga masih belum optimal.
Dampak Jangka Panjang dari Ketidakcapaian KLA
Jika impian KLA tidak terwujud, dampaknya akan terasa secara sistemik dan jangka panjang. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, tidak sehat, dan tidak mendukung akan mengalami hambatan dalam tumbuh kembang fisik, kognitif, dan emosional mereka. Ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan, mengurangi daya saing bangsa, dan melanggengkan siklus kemiskinan dan masalah sosial. Anak-anak yang tidak mendapatkan hak-haknya akan kehilangan potensi terbaik mereka, dan pada akhirnya, negara akan kehilangan aset terbesarnya.
Mewujudkan Harapan: Jalan ke Depan
Meskipun tantangan yang dihadapi besar, mewujudkan KLA bukanlah hal yang mustahil. Beberapa langkah strategis perlu diambil:
- Penguatan Komitmen Politik: Kepala daerah harus menjadikan KLA sebagai visi pembangunan utama, bukan sekadar program sampingan. Ini harus diterjemahkan dalam kebijakan, regulasi daerah, dan alokasi anggaran yang jelas dan berkelanjutan.
- Peningkatan Anggaran Berbasis Hak Anak: Alokasi anggaran harus spesifik, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk program-program yang berorientasi pada pemenuhan hak anak di semua klaster.
- Peningkatan Kualitas Layanan dan Infrastruktur: Perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan, ruang publik, sanitasi, dan lingkungan harus menjadi prioritas, dengan mempertimbangkan aksesibilitas untuk semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus.
- Penegakan Hukum dan Sistem Perlindungan Anak yang Efektif: Memperkuat UPTD PPA, meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, dan membangun sistem pelaporan serta penanganan kasus kekerasan anak yang responsif dan berpihak pada korban.
- Pemberdayaan Partisipasi Anak: Memberikan ruang nyata bagi Forum Anak dan wadah partisipasi lainnya untuk menyampaikan aspirasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Melatih anak-anak untuk menjadi agen perubahan di komunitas mereka.
- Peningkatan Kapasitas SDM dan Kesadaran Masyarakat: Melakukan pelatihan intensif bagi seluruh pemangku kepentingan (guru, tenaga kesehatan, aparat, pekerja sosial) tentang perspektif hak anak. Mengadakan kampanye kesadaran masyarakat secara masif mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak.
- Sinergi dan Kolaborasi Multi-Pihak: Membangun koordinasi yang kuat antara pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. KLA adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.
- Data dan Evaluasi Berbasis Bukti: Mengumpulkan data yang akurat dan melakukan evaluasi berkala untuk mengukur kemajuan, mengidentifikasi kelemahan, dan menyesuaikan strategi.
Kesimpulan
Perjalanan menuju Kota Layak Anak di banyak daerah di Indonesia masih panjang dan berliku. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa impian menciptakan lingkungan yang sepenuhnya mendukung tumbuh kembang anak masih jauh dari harapan, terhambat oleh berbagai tantangan struktural dan implementatif. Namun, dengan komitmen politik yang kuat, alokasi sumber daya yang memadai, partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat, dan perubahan pola pikir dari sekadar label menjadi sebuah paradigma pembangunan, impian ini bukan tidak mungkin untuk dicapai. Anak-anak Indonesia berhak atas masa depan yang lebih baik, dan mewujudkan Kota Layak Anak adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk bergerak bersama, memastikan bahwa setiap anak mendapatkan hak-haknya dan tumbuh menjadi generasi yang cerdas, sehat, dan berdaya.