Berita  

Kota Layak Anak Masih Jauh dari Harapan di Banyak Daerah

Kota Layak Anak: Antara Harapan dan Realita yang Masih Jauh di Banyak Daerah

Pendahuluan

Visi untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung tumbuh kembang optimal bagi setiap anak adalah impian universal. Di Indonesia, visi ini diwujudkan melalui inisiatif Kota Layak Anak (KLA), sebuah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan demi pemenuhan hak-hak anak. KLA bukan sekadar label atau penghargaan, melainkan sebuah filosofi pembangunan yang menempatkan anak sebagai subjek pembangunan, bukan hanya objek. Namun, di balik narasi ambisius ini, realitas di lapangan masih menunjukkan jurang yang lebar antara harapan dan kenyataan. Banyak daerah di Indonesia masih bergulat dengan tantangan fundamental, menjadikan cita-cita Kota Layak Anak terasa jauh dari genggaman.

Mengenal Konsep Kota Layak Anak (KLA)

Konsep Kota Layak Anak berakar kuat pada Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. KLA didesain untuk memastikan bahwa setiap anak dapat menikmati hak-haknya secara penuh dalam lima klaster utama:

  1. Hak Sipil dan Kebebasan: Akta kelahiran, identitas diri, kebebasan berekspresi.
  2. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif: Hak diasuh orang tua, perlindungan dari kekerasan, pengasuhan pengganti jika diperlukan.
  3. Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan: Akses layanan kesehatan, gizi, sanitasi.
  4. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya: Akses pendidikan berkualitas, ruang bermain, kegiatan kreatif.
  5. Perlindungan Khusus: Perlindungan dari eksploitasi, kekerasan, perdagangan anak, anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, dan anak penyandang disabilitas.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memberikan penghargaan KLA setiap tahun dengan tingkatan Pratama, Madya, Nindya, Utama, hingga kategori KLA. Penghargaan ini seharusnya menjadi pendorong bagi pemerintah daerah untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas pemenuhan hak anak. Namun, benarkah penghargaan ini selalu merefleksikan kondisi riil di lapangan?

Langkah Maju, Namun Belum Merata dan Substansial

Tidak dapat dimungkiri bahwa inisiatif KLA telah mendorong sejumlah daerah untuk mulai memperhatikan isu anak. Banyak kabupaten/kota yang berupaya membentuk Gugus Tugas KLA, menyusun kebijakan daerah yang ramah anak, dan mengalokasikan anggaran untuk program-program terkait. Jumlah daerah yang menerima penghargaan KLA pun terus meningkat setiap tahunnya, menunjukkan adanya peningkatan komitmen formal. Beberapa daerah berhasil membangun fasilitas publik ramah anak, seperti taman bermain inklusif, pojok baca anak di perpustakaan, atau bahkan layanan pengaduan anak yang lebih responsif.

Namun, di balik gemerlap penghargaan dan klaim keberhasilan, seringkali ditemukan bahwa upaya-upaya tersebut masih bersifat parsial, administratif, dan belum menyentuh akar permasalahan secara substansial. Banyak daerah yang berfokus pada pemenuhan indikator-indikator yang mudah diukur secara kuantitatif, seperti keberadaan peraturan daerah atau jumlah fasilitas fisik, tanpa diikuti oleh perubahan sistemik yang benar-benar menjamin hak-hak anak secara holistik dan berkelanjutan.

Jurang Antara Harapan dan Realita: Mengapa KLA Masih Jauh dari Impian?

Ada beberapa faktor fundamental yang menyebabkan cita-cita Kota Layak Anak masih jauh dari harapan di banyak daerah:

  1. Komitmen Politik yang Belum Penuh dan Berkelanjutan:
    Meskipun banyak kepala daerah menyatakan komitmen terhadap KLA, seringkali komitmen tersebut hanya berhenti pada tataran retorika atau simbolis. KLA belum menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan daerah jangka menengah (RPJMD) atau alokasi anggaran yang signifikan. Perubahan kepemimpinan daerah juga seringkali mengikis keberlanjutan program, karena visi dan prioritas pemimpin baru bisa berbeda.

  2. Alokasi Anggaran yang Minim dan Tidak Tepat Sasaran:
    Keterbatasan anggaran menjadi alasan klasik yang sering dikemukakan. Program-program KLA seringkali hanya mendapatkan porsi kecil dari APBD, atau anggarannya tersebar di berbagai dinas tanpa koordinasi yang efektif. Akibatnya, program yang direncanakan tidak dapat berjalan optimal, atau justru tumpang tindih dan tidak efisien. Alokasi dana seringkali lebih condong pada pembangunan fisik yang terlihat, ketimbang penguatan kapasitas SDM atau program perlindungan anak yang bersifat pencegahan dan penanganan.

  3. Koordinasi Lintas Sektor yang Lemah:
    Konsep KLA menuntut kolaborasi antar berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, hingga kepolisian. Namun, di banyak daerah, ego sektoral masih tinggi. Setiap dinas cenderung bekerja dalam "silo" masing-masing, menyebabkan fragmentasi program, duplikasi upaya, dan celah-celah kosong dalam pelayanan yang seharusnya terintegrasi untuk anak.

  4. Ketersediaan Data dan Monitoring yang Kurang Akurat:
    Kebijakan yang efektif harus didasarkan pada data yang valid dan akurat mengenai kondisi anak di daerah tersebut. Sayangnya, banyak daerah masih kekurangan sistem data yang terintegrasi mengenai angka kekerasan anak, gizi buruk, anak putus sekolah, atau anak berhadapan dengan hukum. Tanpa data yang kuat, sulit untuk merancang intervensi yang tepat sasaran, serta memantau dan mengevaluasi efektivitas program KLA.

  5. Infrastruktur yang Belum Ramah Anak:
    Banyak kota masih jauh dari standar ramah anak dalam hal infrastruktur. Trotoar yang tidak layak, minimnya ruang terbuka hijau atau taman bermain yang aman dan inklusif, fasilitas transportasi umum yang tidak mengakomodasi anak, serta lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aman dari bahaya fisik atau bencana, menjadi masalah umum. Anak-anak, terutama penyandang disabilitas, seringkali kesulitan mengakses fasilitas publik karena hambatan fisik.

  6. Perlindungan Anak yang Rapuh:
    Ini adalah salah satu aspek paling krusial dan seringkali menjadi titik lemah. Kasus kekerasan seksual, fisik, dan emosional terhadap anak masih marak terjadi, bahkan di lingkungan terdekat anak. Mekanisme pengaduan yang tidak responsif, kurangnya tenaga ahli (psikolog, pekerja sosial), serta stigma sosial yang menghambat pelaporan, membuat banyak kasus tidak tertangani dengan baik. Anak jalanan, pekerja anak, dan anak yang berhadapan dengan hukum juga seringkali tidak mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi yang memadai.

  7. Partisipasi Anak yang Masih Formalitas:
    Salah satu pilar KLA adalah partisipasi anak dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Namun, di banyak daerah, partisipasi anak seringkali hanya sebatas seremoni atau "tokenisme" – anak diundang dalam forum, namun suaranya tidak benar-benar didengar atau dipertimbangkan dalam kebijakan. Forum Anak yang seharusnya menjadi wadah aspirasi anak-anak, seringkali kurang mendapatkan dukungan dan pemberdayaan yang memadai.

  8. Kapasitas Sumber Daya Manusia yang Terbatas:
    Petugas di lapangan, baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, seringkali belum memiliki kapasitas yang memadai dalam memahami hak-hak anak, teknik penanganan kasus kekerasan, atau metode fasilitasi partisipasi anak. Pelatihan yang minim dan kurangnya tenaga ahli yang terlatih menjadi kendala serius dalam implementasi KLA.

  9. Faktor Sosial Budaya:
    Beberapa norma dan praktik sosial budaya di masyarakat masih menjadi tantangan. Misalnya, pernikahan anak, hukuman fisik sebagai bentuk disiplin, atau pandangan bahwa isu anak adalah masalah privat keluarga, dapat menghambat upaya perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak mereka.

Dampak Kegagalan Mewujudkan KLA

Kegagalan dalam mewujudkan Kota Layak Anak akan berdampak jangka panjang dan merusak. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak aman dan tidak mendukung akan berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang, masalah kesehatan mental, kesulitan dalam pendidikan, serta rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Ini tidak hanya merugikan individu anak, tetapi juga melemahkan kualitas sumber daya manusia di masa depan dan menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.

Mewujudkan KLA: Jalan Panjang yang Harus Ditempuh

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan dari semua pihak.

  1. Penguatan Komitmen Politik: Kepala daerah harus menjadikan KLA sebagai prioritas utama yang terintegrasi dalam seluruh dokumen perencanaan pembangunan daerah, bukan hanya proyek sampingan. Komitmen ini harus diterjemahkan dalam kebijakan dan alokasi anggaran yang jelas.
  2. Peningkatan Alokasi dan Efektivitas Anggaran: Anggaran untuk KLA harus ditingkatkan dan dialokasikan secara strategis untuk program-program yang paling berdampak, termasuk penguatan sistem perlindungan anak dan peningkatan kapasitas SDM.
  3. Integrasi dan Koordinasi Lintas Sektor: Dibutuhkan mekanisme koordinasi yang kuat antar-OPD dan pemangku kepentingan lainnya, dengan tujuan yang jelas dan indikator kinerja bersama. Gugus Tugas KLA harus berfungsi secara efektif sebagai motor penggerak.
  4. Penguatan Sistem Data dan Monitoring: Daerah harus berinvestasi dalam sistem data yang komprehensif dan terintegrasi mengenai anak, serta melakukan monitoring dan evaluasi program secara berkala untuk memastikan efektivitasnya.
  5. Pengembangan Infrastruktur Ramah Anak: Pembangunan dan renovasi fasilitas publik harus mempertimbangkan kebutuhan anak, termasuk aksesibilitas bagi anak penyandang disabilitas.
  6. Peningkatan Kapasitas Perlindungan Anak: Memperkuat lembaga perlindungan anak, menyediakan layanan pengaduan yang mudah diakses dan responsif, serta meningkatkan kapasitas tenaga profesional dalam penanganan kasus kekerasan anak.
  7. Pemberdayaan Partisipasi Anak: Memberikan ruang dan dukungan nyata bagi anak-anak untuk menyampaikan aspirasi mereka, serta memastikan suara mereka didengar dan dipertimbangkan dalam kebijakan publik.
  8. Edukasi dan Pelibatan Masyarakat: Mengedukasi masyarakat tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan anak, serta melibatkan mereka dalam upaya mewujudkan KLA.
  9. Kolaborasi Multi-Pihak: Melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, dan media massa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program KLA.

Kesimpulan

Cita-cita Kota Layak Anak adalah sebuah janji moral yang harus ditepati oleh setiap pemerintah daerah kepada generasi penerus. Meskipun telah ada langkah maju, realitas di banyak daerah masih menunjukkan bahwa janji tersebut belum sepenuhnya terwujud. Jurang antara harapan dan kenyataan ini memerlukan evaluasi jujur, komitmen yang lebih kuat, serta kerja keras yang terkoordinasi dari seluruh elemen bangsa. Mewujudkan Kota Layak Anak bukan hanya tentang penghargaan, tetapi tentang memastikan setiap anak di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, aman, dan terlindungi, karena masa depan bangsa ada di tangan mereka. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, kegigihan, dan semangat kolaborasi yang tak pernah padam.

Exit mobile version