Berita  

Perkembangan Kebijakan Energi Nasional Menuju Net-Zero Emission

Jejak Langkah Indonesia: Perkembangan Kebijakan Energi Nasional Menuju Net-Zero Emission 2060

Pendahuluan: Urgensi dan Komitmen Global

Perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang mendesak, menuntut setiap negara untuk mengambil tindakan konkret dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Sejalan dengan kesepakatan Paris Agreement, target ambisius untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius, dan idealnya 1.5 derajat Celsius, telah mendorong berbagai negara untuk menetapkan tujuan Net-Zero Emission (NZE). Indonesia, sebagai negara berkembang dengan ekonomi yang terus tumbuh dan potensi energi terbarukan yang melimpah, tidak terkecuali. Komitmen untuk mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat telah menjadi pilar utama dalam arah kebijakan energi nasional. Namun, perjalanan menuju NZE bukanlah tanpa tantangan, membutuhkan transformasi fundamental dalam sistem energi yang selama ini sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Artikel ini akan mengulas perkembangan kebijakan energi nasional Indonesia, pilar-pilar strategis, tantangan, dan peluang dalam mewujudkan visi Net-Zero Emission.

Fondasi Awal dan Pergeseran Paradigma Kebijakan Energi

Selama beberapa dekade, kebijakan energi Indonesia didominasi oleh upaya memastikan ketersediaan energi yang terjangkau untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Batu bara, sebagai sumber daya yang melimpah dan murah, menjadi tulang punggung pembangkit listrik nasional. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dan tekanan global, paradigma kebijakan mulai bergeser.

Titik balik signifikan terjadi pasca-ratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016. Indonesia menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) pertamanya, berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan internasional, pada tahun 2030. Komitmen ini kemudian diperkuat dengan target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, yang secara resmi diumumkan pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Roma tahun 2021 dan dipertegas dalam dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) serta NDC yang diperbarui (Enhanced NDC) pada tahun 2022.

Pergeseran ini menuntut reformasi kebijakan yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada diversifikasi sumber energi, tetapi juga pada dekarbonisasi sistem energi secara keseluruhan. Ini mencakup tidak hanya sektor kelistrikan, tetapi juga industri, transportasi, bangunan, dan sektor lainnya yang berkontribusi terhadap emisi.

Pilar-Pilar Utama Kebijakan Transisi Energi Menuju Net-Zero

Untuk mencapai target NZE, pemerintah Indonesia telah merancang dan mengimplementasikan serangkaian kebijakan yang berfokus pada empat pilar utama:

1. Peningkatan Porsi Energi Terbarukan (EBT) dalam Bauran Energi Nasional:
Ini adalah inti dari strategi dekarbonisasi. Indonesia memiliki potensi EBT yang luar biasa, diperkirakan mencapai lebih dari 400 GW, meliputi tenaga surya, hidro, panas bumi, angin, dan biomassa.

  • Target Ambisius: Pemerintah telah menetapkan target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025, meskipun target ini masih menjadi tantangan besar. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) telah menggariskan penambahan kapasitas EBT secara signifikan. RUPTL 2021-2030, misalnya, menargetkan penambahan 20,9 GW pembangkit EBT, atau 51,6% dari total penambahan kapasitas pembangkit.
  • Insentif dan Regulasi: Berbagai upaya regulasi telah dilakukan untuk menarik investasi EBT. Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik adalah langkah krusial. Perpres ini mengatur harga pembelian tenaga listrik EBT oleh PLN, termasuk skema feed-in tariff dan ceiling price, serta mekanisme lelang.
  • Pengembangan Berbagai Jenis EBT:
    • Surya: Program PLTS Atap digencarkan, didukung oleh Permen ESDM No. 26 Tahun 2021. Pengembangan PLTS skala besar juga mulai muncul, seperti PLTS Terapung Cirata yang merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.
    • Hidro: Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan mikrohidro (PLTMH) tetap menjadi tulang punggung EBT karena sifatnya yang stabil (baseload). Proyek-proyek besar seperti PLTA Kayan dan PLTA Batang Toru terus dikembangkan.
    • Panas Bumi: Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia. Kebijakan terus mendorong eksplorasi dan eksploitasi panas bumi dengan skema harga yang menarik dan insentif fiskal.
    • Angin dan Biomassa: Pengembangan PLTB mulai terlihat di beberapa daerah seperti Sidrap dan Jeneponto. Biomassa juga dimanfaatkan melalui co-firing pada PLTU batu bara.

2. Efisiensi dan Konservasi Energi:
Pengurangan permintaan energi melalui efisiensi adalah cara paling hemat biaya untuk mengurangi emisi.

  • Standar dan Regulasi: Kebijakan efisiensi energi diterapkan melalui standar kinerja energi minimum (SKEM) untuk peralatan rumah tangga dan industri, serta penerapan bangunan hijau.
  • Manajemen Sisi Permintaan (DSM): PLN dan pemerintah mendorong program DSM untuk mengelola beban puncak dan mengoptimalkan penggunaan energi.
  • Kesadaran Publik: Kampanye dan edukasi tentang pentingnya konservasi energi terus digalakkan untuk mengubah perilaku konsumen.

3. Pengembangan Teknologi Rendah Karbon dan Industri Hijau:
Selain EBT, teknologi rendah karbon lainnya juga menjadi fokus.

  • Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS): Indonesia memiliki potensi besar untuk penyimpanan CO2. Pemerintah sedang mengembangkan kerangka regulasi untuk CCUS dan mengidentifikasi proyek percontohan di sektor minyak dan gas, serta industri berat seperti pupuk dan semen.
  • Hidrogen Hijau dan Amonia Biru/Hijau: Potensi hidrogen sebagai bahan bakar masa depan yang nol emisi sedang dieksplorasi. Peta jalan pengembangan hidrogen sedang disusun, dengan fokus pada produksi hidrogen hijau dari EBT dan amonia biru dari gas alam dengan CCUS.
  • Ekosistem Kendaraan Listrik (EV): Indonesia memiliki cadangan nikel yang melimpah, bahan baku kunci baterai EV. Pemerintah berupaya membangun ekosistem EV terintegrasi, mulai dari penambangan nikel, produksi baterai, hingga perakitan kendaraan listrik, didukung oleh insentif fiskal dan non-fiskal.

4. Pengakhiran Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTU) dan Transisi yang Berkeadilan:
Pensiun dini PLTU batu bara adalah langkah krusial untuk dekarbonisasi sektor kelistrikan.

  • Moratorium dan Pensiun Dini: Pemerintah telah mengumumkan moratorium pembangunan PLTU baru dan sedang menyusun mekanisme untuk pensiun dini PLTU yang ada.
  • Just Energy Transition Partnership (JETP): Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan sebesar USD 20 miliar dari International Partners Group (IPG) melalui skema JETP. Mekanisme ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan, memastikan dampak sosial dan ekonomi dari penutupan PLTU dapat dikelola dengan baik, termasuk pelatihan ulang tenaga kerja dan pengembangan ekonomi lokal.

Tantangan dan Hambatan Menuju Net-Zero Emission

Meskipun kebijakan telah dirancang dengan matang, implementasinya menghadapi berbagai tantangan:

  • Pendanaan: Transisi energi membutuhkan investasi besar-besaran, diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Kesenjangan pendanaan masih signifikan, membutuhkan skema pembiayaan inovatif, dukungan internasional, dan partisipasi aktif sektor swasta.
  • Teknologi dan Infrastruktur: Pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi yang cerdas (smart grid) untuk mengakomodasi intermitensi EBT seperti surya dan angin masih memerlukan investasi besar. Transfer teknologi dan pengembangan kapasitas lokal juga krusial.
  • Harga EBT: Meskipun biaya EBT terus menurun, harga listrik dari EBT masih dianggap lebih tinggi dibandingkan batu bara di beberapa kasus, memerlukan skema harga yang bankable dan kompetitif untuk menarik investor.
  • Aspek Sosial-Ekonomi: Pensiun dini PLTU dapat berdampak pada kehilangan pekerjaan dan ekonomi lokal yang bergantung pada industri batu bara. Transisi yang berkeadilan harus memastikan tidak ada komunitas yang tertinggal.
  • Koordinasi dan Konsistensi Kebijakan: Diperlukan koordinasi yang kuat antar kementerian/lembaga dan konsistensi kebijakan jangka panjang untuk memberikan kepastian bagi investor.
  • Intermitensi EBT: Tantangan dalam mengelola pasokan listrik dari EBT yang bersifat intermiten (tergantung cuaca) memerlukan solusi penyimpanan energi (baterai) skala besar dan sistem manajemen jaringan yang canggih.

Peluang dan Prospek Masa Depan

Di balik tantangan, transisi energi juga membuka peluang besar bagi Indonesia:

  • Ketahanan Energi: Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor akan meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi volatilitas harga.
  • Penciptaan Lapangan Kerja Baru: Sektor EBT, manufaktur baterai, dan industri hijau lainnya berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
  • Pertumbuhan Ekonomi Hijau: Investasi dalam EBT dan teknologi rendah karbon dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kompetitif.
  • Kepemimpinan Regional: Dengan potensi EBT dan komitmen NZE, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam transisi energi di kawasan Asia Tenggara.
  • Peningkatan Kualitas Lingkungan: Pengurangan emisi akan berdampak positif pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat.

Kesimpulan

Perjalanan Indonesia menuju Net-Zero Emission 2060 adalah sebuah mega-proyek yang kompleks namun krusial. Perkembangan kebijakan energi nasional telah menunjukkan arah yang jelas, dari ketergantungan pada fosil menuju masa depan yang didominasi oleh energi bersih. Pilar-pilar strategi seperti peningkatan EBT, efisiensi energi, pengembangan teknologi rendah karbon, dan pengakhiran PLTU secara berkeadilan merupakan fondasi kuat untuk transformasi ini.

Meskipun tantangan pendanaan, teknologi, dan sosial-ekonomi masih membayangi, komitmen politik, potensi sumber daya yang melimpah, dan dukungan internasional memberikan optimisme. Keberhasilan transisi ini akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang konsisten, inovasi, kolaborasi antar-pemangku kepentingan, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Dengan langkah yang terencana dan determinasi yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan visi Net-Zero Emission, menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan, adil, dan sejahtera bagi generasi mendatang.

Exit mobile version