Soeharto

Soeharto: Arsitek Orde Baru dan Dilema Warisan

Sejarah Indonesia modern tidak dapat dilepaskan dari sosok Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia yang memimpin selama 32 tahun. Dari seorang prajurit desa yang bersahaja, ia bangkit menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh di Asia Tenggara, membentuk ulang struktur politik, ekonomi, dan sosial bangsa. Era kepemimpinannya, yang dikenal sebagai Orde Baru, adalah periode stabilitas yang panjang, pembangunan ekonomi yang pesat, namun juga ditandai oleh kontrol politik yang ketat, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif. Warisan Soeharto hingga kini tetap menjadi subjek perdebatan sengit, mencerminkan kompleksitas figur yang di satu sisi dipuji sebagai penyelamat bangsa dari kekacauan, di sisi lain dikutuk sebagai diktator otoriter.

Dari Prajurit ke Puncak Kekuasaan: Jalan Menuju Orde Baru

Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Yogyakarta, dari keluarga petani. Pendidikan dasarnya terbatas, namun ia menunjukkan bakat dalam bidang militer sejak muda. Kariernya di kemiliteran dimulai pada masa pendudukan Jepang, bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), dan berlanjut selama Revolusi Nasional Indonesia. Ia terlibat dalam berbagai operasi penting, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang mengangkat namanya sebagai komandan lapangan yang cakap. Soeharto terus meniti karier di Angkatan Darat, menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada awal 1960-an.

Titik balik krusial dalam sejarah Indonesia, dan karier Soeharto, adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Di tengah kekacauan dan ketidakpastian politik pasca-penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, Soeharto mengambil alih kendali militer dan memimpin operasi penumpasan gerakan tersebut. Dengan dalih mengembalikan ketertiban, ia berhasil memulihkan situasi dan secara bertahap menyingkirkan lawan-lawan politiknya, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding sebagai dalang G30S. Penumpasan PKI ini menelan korban jiwa yang sangat besar, diperkirakan mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang, sebuah babak kelam dalam sejarah bangsa yang hingga kini belum sepenuhnya terungkap.

Puncak konsolidasi kekuasaan Soeharto terjadi pada 11 Maret 1966, ketika ia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Sukarno. Meskipun keaslian dan isi Supersemar masih diperdebatkan, surat ini menjadi legitimasi bagi Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi menjaga keamanan dan stabilitas. Dalam waktu singkat, ia membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, menangkapi para menteri yang pro-Sukarno, dan secara bertahap mengikis kekuasaan Sukarno. Pada Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS secara resmi mencabut mandat Sukarno sebagai presiden dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian, pada Maret 1968, Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia secara penuh, menandai dimulainya era Orde Baru.

Fondasi Orde Baru: Stabilitas dan Pembangunan Ekonomi

Orde Baru dibangun di atas tiga pilar utama: stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan anti-komunisme yang kuat. Soeharto dan para penasihatnya, yang banyak di antaranya adalah ekonom-ekonom lulusan universitas Barat yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley," memprioritaskan pembangunan ekonomi sebagai jalan keluar dari kemiskinan dan keterbelakahan. Mereka menerapkan kebijakan ekonomi berorientasi pasar terbuka, menarik investasi asing, dan mempromosikan ekspor.

Pemerintah Orde Baru meluncurkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) secara berkesinambungan, dimulai dari REPELITA I pada 1969. Fokus utama pembangunan adalah sektor pertanian, dengan program intensifikasi pertanian yang dikenal sebagai "Revolusi Hijau," yang berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras pada pertengahan 1980-an. Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sarana irigasi juga digalakkan. Kebijakan ini, ditambah dengan harga minyak yang tinggi pada era 1970-an, mendorong pertumbuhan ekonomi yang impresif, rata-rata di atas 6% per tahun. Angka kemiskinan menurun drastis, dan akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan dasar meningkat.

Di sisi politik, Orde Baru mengusung ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diberikan peran ganda melalui konsep "Dwifungsi ABRI," yang berarti ABRI tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial politik yang terlibat dalam administrasi pemerintahan. Ini memberikan legitimasi bagi militer untuk menduduki posisi-posisi sipil dan menjadi tulang punggung rezim.

Cengkeraman Kekuasaan: Kontrol Politik dan Represi

Meskipun membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, Orde Baru juga dicirikan oleh kontrol politik yang ketat dan pengekangan kebebasan sipil. Sistem politik didesain untuk memastikan dominasi Golongan Karya (Golkar) dalam setiap pemilihan umum, yang bukan partai politik murni melainkan "sekretariat bersama" berbagai golongan fungsional. Partai-partai politik lainnya, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), direduksi perannya dan berada di bawah pengawasan ketat pemerintah.

Kebebasan pers sangat dibatasi, dengan banyak media yang dibredel jika dianggap mengkritik pemerintah. Pembentukan organisasi masyarakat (ormas) diawasi ketat, dan semua ormas diwajibkan berasaskan Pancasila. Intelijen negara, seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang kemudian menjadi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas), memiliki kekuatan besar untuk menindak setiap bentuk perbedaan pendapat atau potensi ancaman terhadap rezim. Ribuan aktivis, mahasiswa, seniman, dan intelektual ditangkap, dipenjara, atau diasingkan tanpa proses hukum yang adil.

Pelanggaran hak asasi manusia menjadi noda hitam dalam catatan Orde Baru. Selain pembantaian massal pasca-1965, rezim Soeharto juga bertanggung jawab atas invasi dan aneksasi Timor Timur pada 1975, yang mengakibatkan konflik berkepanjangan dan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Operasi militer di Aceh dan Papua (saat itu Irian Jaya) juga seringkali diwarnai kekerasan dan penindasan terhadap penduduk sipil.

Puncak dan Kerentanan: Ekonomi dan Korupsi

Pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, Indonesia di bawah Soeharto mencapai puncak kejayaan ekonominya. Namun, di balik angka-angka makro yang mengesankan, mulai muncul kerentanan dan masalah struktural. Nepotisme, kolusi, dan korupsi (KKN) menjadi semakin merajalela. Keluarga dan kroni Soeharto, terutama anak-anaknya, membangun kerajaan bisnis raksasa dengan memanfaatkan akses istimewa terhadap proyek-proyek negara, monopoli, dan fasilitas kredit dari bank-bank pemerintah. Praktik KKN ini tidak hanya mengikis efisiensi ekonomi tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar dan memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat.

Meskipun Orde Baru berhasil mengurangi kemiskinan absolut, distribusi kekayaan menjadi sangat timpang. Kelas menengah yang tumbuh pesat mulai menyuarakan aspirasi politik yang lebih besar, sementara kalangan bawah semakin merasa termarjinalkan oleh praktik-praktik yang tidak adil.

Badai Krisis dan Kejatuhan Soeharto

Kelemahan struktural ekonomi Indonesia akhirnya terkuak ketika krisis finansial Asia melanda pada pertengahan 1997. Rupiah anjlok nilainya, banyak perusahaan bangkrut, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah Soeharto awalnya lambat dalam merespons dan kebijakan yang diambil tidak efektif. Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan dengan memberikan paket bantuan besar, namun dengan syarat reformasi ekonomi yang ketat dan menyakitkan, termasuk penutupan bank-bank bermasalah dan penghapusan subsidi.

Krisis ekonomi yang parah ini memicu gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi total, termasuk pengunduran diri Soeharto. Gerakan Reformasi mendapatkan momentum besar, mencapai puncaknya pada Mei 1998. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tewas tertembak, memicu kerusuhan massal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Tekanan semakin besar ketika sebagian besar anggota DPR/MPR dan bahkan menteri-menteri Kabinet Pembangunan VII menyatakan mundur atau tidak bersedia mendukungnya lagi.

Pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto akhirnya menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden di Istana Merdeka. Pengunduran diri ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi, membuka jalan bagi transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka di Indonesia.

Warisan dan Perdebatan Abadi

Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Warisannya tetap menjadi subjek perdebatan yang kompleks dan seringkali emosional di Indonesia. Para pendukungnya menyoroti keberhasilannya dalam menciptakan stabilitas politik pasca-kekacauan 1965, mengendalikan inflasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan, yang mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Mereka berpendapat bahwa di tengah ancaman disintegrasi dan komunisme, kepemimpinan Soeharto adalah suatu keharusan untuk menjaga keutuhan bangsa.

Namun, para kritikus dengan tegas menunjuk pada sisi gelap Orde Baru: otoritarianisme, pengekangan kebebasan sipil, pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, dan korupsi yang masif yang menguntungkan segelintir elite. Mereka berargumen bahwa stabilitas yang diciptakan Soeharto adalah stabilitas semu yang dibangun di atas penindasan, dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak berkelanjutan serta tidak merata. Hingga saat ini, upaya untuk mengadili Soeharto atas tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM tidak pernah tuntas, sebagian karena kondisi kesehatannya yang memburuk.

Soeharto adalah figur yang tak terpisahkan dari narasi bangsa Indonesia. Ia adalah arsitek sebuah era yang membentuk fondasi modern Indonesia, namun juga meninggalkan luka mendalam yang membutuhkan waktu panjang untuk disembuhkan. Memahami Soeharto berarti memahami dilema pembangunan di negara berkembang: apakah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi harus dikorbankan demi kebebasan dan demokrasi, atau sebaliknya? Perdebatan ini, dan upaya untuk merekonsiliasi sisi terang dan gelap warisannya, akan terus berlanjut sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan.

Exit mobile version